Senin, 06 Februari 2012

Hubungan Antara Etika dan Ilmu



A.    Pengertian etika

Secara etimologi istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ethos atau ethikos. Ethos diartikan sifat, watak, sikap, kebiasaan, atau tempat yang biasa. Sedangkan kata ethikos berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang baik. Jadi, jika dilihat dari asal-usul kata etika, maka etika dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Selain secara etimologis, pengertian etika dapat dilihat dari kamus, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dirumuskan dalam tiga arti sebagai berikut:
  1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
  2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
  3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Berikut penulis sajikan beberapa pendapat dari para ahli yang mengemukakan tentang definisi etika menurut persepsi dan pemahaman mereka masing-masing:
  1. Ahmad Yamin, etika diartikan sebagai ilmu yang menjelaskan arti baik-buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
  2. Abdullah, etika diartikan sebagai ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai buruk dengan memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat dicerna akal pikiran.
  3. Ki Hajar Dewantara mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan dalam hidup manusia semuanya, teristimewa mengenai gerak-gerik pikiran.
  4. Surahwadi Lubis mengartikan etika sebagai ilmu filsafat tentang nilai-nilai kesusilaan, tentang baik dan buruk.
  5. H. Devos mengartikan etika sebagai ilmu pengetahuan mengenai kesusilaan secara ilmiah.
  6. Sumaryono mengartikan etika sebagai studi tentang kebenaran dan ketidak benaran berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui kehendak manusia.

B.     Pengertian ilmu
Istilah ilmu diambil dari bahasa Arab yaitu “alima, ya’lamu, ‘ilman” yang berarti mengerti atau memahami benar-benar. Dalam bahasa Inggris istilah ilmu berasal dari kata science, yang berasal dari bahasa Latin scienta dari bentuk kata kerja scire, yang berarti mempelajari dan mengetahui.
Menurut The Liang Gie (dalam Surajiyo, 2010: 56) memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia. Menurut W. Atmojo (dalam A. Susanto, 2011: 76) ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan itu. Adapun menurut A. Susanto (2011: 78) ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang dilaksanakan dengan metode tertentu yang akhirnya menghasilkan pengetahuan.
Beberapa syarat yang perlu dipenuhi oleh suatu pengetahuan untuk dapat masuk kategori sebagai ilmu, menurut Maufur (dalam A. Susanto, 2011: 45) adalah sebagai berikut:
  1. Sistematis, yakni ada urutan dari awal hingga akhir, dan ada hubungan yang bermakna antara bagian-bagian atau fakta yang satu dengan fakta yang lainnya yang tersusun secara runtut.
  2. General, yaitu keumuman sifatnya yang berlaku di manapun (lintas ruang dan waktu) berkaitan dengan kadar mutu yang standar. Dapat juga disebut universal, karena dapat dikomunikasikan kapan dan di manapun, paling tidak di bumi ini. Semisal hukum-hukum fisika yang berlaku di Amerika, maka berlaku juga di Indonesia, Inggris, Belanda, Afrika dan sebagainya.
  3. Rasional, maksudnya adalah bahwa ilmu sebagai pengetahuan ilmiah bersumber pada pemikiran rasional yang mematuhi kaidah-kaidah logika. Pengujian atas pengetahuan ilmiah adalah penalaran yang betul-betul dan perbincangan yang logis tanpa melibatkan faktor-faktor nonrasional, seperti emosi sesaat dan kesenangan pribadi.
  4. Objektif, adalah apa adanya mengungkap realitas yang sahih bagi siapa saja.
  5. Menggunakan metode tertentu dalam mempertanyakan objek tertentu, mencari dan menemukan sesuatu sebagai kebenaran, dan secara terus menerus. Karena ilmu pengetahuan akan terus berkembang ketika ditemukan jawaban sekaligus memunculkan pertanyaan susulan, dan terus dicari jawabannya lagi. Demikian seterusnya.
  6. Dapat dipertanggungjawabkan dengan menggunakan argumentasi logis rasional, apalagi jika telah melalui eksperimen yang berulang kali.
Senada dengan itu, ilmu menurut The Liang Gie (dalam Surajiyo, 2010: 59) mempunyai 5 ciri pokok:
  1. Empiris, pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan.
  2. Sistematis, berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur.
  3. Objektif, ilmu berarti pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan kesukaan pribadi.
  4. Analitis, pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok soalnya ke dalam bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian itu.
  5. Verikatif, dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun.

C.     Hubungan antara etika dan ilmu
Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Tanggung jawab etis menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memerhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, dan generasi mendatang, serta bersifat universal karena pada hakikatnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh ekosistem manusia bukan untuk menghancurkan ekosistem tersebut.

Manusia disebut etis adalah manusia yang secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka mewujudkan keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan orang lain, antara rohani dengan jasmani, dan sebagai makhluk ciptaan-Nya. Dengan demikian, etika dibutuhkan sebagai pertimbangan pemikiran yang kritis, yang dapat membedakan antara apa yang sah dan yang tidak sah, membedakan apa yang benar dan apa yang tidak benar.

D.     Filosofi pendidikan anak usia dini
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling tinggi derajatnya, paling unik, penuh dinamika dalam perkembangannnya dan memiliki potensi untuk mengembangkan dirinya yang dianugerahkan kepadanya bila mendapatkan layanan yang sesuai. Sebagai manusia, semenjak berusia dini mereka telah dibekali dengan berbagai potensi-potensi yang perlu dikembangkan agar kelak dapat menjalankan fungsi dan perannya sebagai manusia secara efektif dan produktif dalam menjalami kehidupan sehari-hari. Begitu pentingnya peran anak, para ahli pendidikan anak telah berusaha mencari jawaban yang akurat tentang anak.
       Usaha untuk menemukan kebenaran tentang anak meruapakan usaha menemukan filsafat yang benar tantang anak. Filsafat pendidikan anak usia dini pada hakikatnya adalah penerapan pandangan-pandangan filsafat dalam pendidikan anak usia dini. Dalam arti lain, filsafat pendidikan anak usia dini adalah pengaplikasian analisis-analisis atau kajian-kajian filsafat dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini baik menyangkut kurikulum, aspek pendidikan, tujuan pendidikan, objek pendidikan, pendekatan, dan  model pembelajaran  dalam pendidikan anak usia dini.
       Pandangan orang tentang anak berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan, pengalaman dan proses budaya yang berlaku dalam suatu masyarakat. Pandangan seseorang tentang anak mempengaruhi perlakukan pendidikan terhadap anak itu sendiri. Para ahli telah memberikan perhatian yang serius terhadap anak usia dini dan pendidikannya. Mereka berasal dari berbagai budaya dan suku bangsa dan latar belakang disiplin ilmu. Sebagai akibat perbedaan latar belakang, mereka pun mengkaji dan melihat secara berbeda pula tentang anak usia dini dan pendidikan yang sesuai.
      Berbagai pemikiran pada tokoh pendidikan anak usia dini melahirkan filosofi pendidikan anak usia dini. Berikut ini akan dibahas beberapa tokoh pendidikan anak dan pemikiran filosifis terhadap anak usia dini.
  1) Filosofi Islam
      Pemikir utama pendidikan anak usia dini adalah Nabi Muhammad S.A.W. Beliau merupakan tokoh pendidikan yang menganjurkan pendidikan harus dimulai sejak kecil. Beliaulah yang menganjurkan pendidikan sebagai proses “life long of educaton”. Sabba Rasulullah Saw menyebutkan: “Utlubul ilma minal mahdi illal lahdi”, (tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat). Sabda ini memberikan petunjuk yang tegas tentang pendidikan semenjak usia dini. Sabda ini menekankan bahwa pendidikan merupakan proses yang kontinuitas mulai anak dalam gendongan orangtua sampai manusia meninggal dunia. Sabda ini memberi makna bahwa pendidikan itu penting dan tidak ada kata berhenti untuk belajar untuk memperoleh ilmu.
  2) Ki Hajar Dewantara
      Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa anak-anak adalah mahluk hidup yang memiliki kodratnya masing-masing. Kaum pendidik hanya membantu menuntun kodratnya tersebut. Jika anak memiliki kodrat yang tidak baik, maka tugas pendidik untuk membantunya menjadi baik. Jika anak sudah memiliki kodrat yang baik, maka ia akan lebih baik lagi jika dibantu melalui pendidikan. Kodrat dan lingkungan merupakan konvergensi yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain.


  3) Martin Luther King (1483 – 1546)
      Martin Luther menekankan pada anak agar menggunakan sekolah sebagai sarana untuk mengajar anak membaca. Ia juga percaya bahwa keluarga sebagai institusi yang paling penting merupakan peletak dasar pendidikan bagi anak. Tanpa pendidikan maka anak tidak akan mendapatkan bekal bagi hidupnya di masa yang akan datang. Karena itu pendidikan dan sekolah bukan hanya sekedar tempat anak bersosialisasi saja, tetapi juga memiliki makna sebagai sarana religius dan penegak moral.
  4) John Locke (1632-1704)
      John Locke adalah pencetus teori “tabula rasa” yang menganggap bahwa anak sebagai kertas putih atau tablet yang kosong. Anak hidup di dalam lingkungannya yang sangat berpengaruh dalam proses pembentukan seorang anak. Melalui pengalaman-pengalaman yang dilalui anak bersama lingkungannya, akan menentukan karakter anak. Dia sangat mempercayai bahwa untuk mendapatkan pembelajaran dari lingkungannya, maka satu-satunya cara bagi anak adalah mendapatkan pelatihan-pelatihan sensoris.

            Rangkuman :
1.      Etika adalah ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai buruk dengan memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat dicerna akal pikiran.
2.      Ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang dilaksanakan dengan metode tertentu yang akhirnya menghasilkan pengetahuan.
3.      Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
4.      Etika dibutuhkan sebagai pertimbangan pemikiran yang kritis, yang dapat membedakan antara apa yang sah dan yang tidak sah, membedakan apa yang benar dan apa yang tidak benar.


Daftar Pustaka:
1.      Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.
2.      Suriasumantri, Jujun S. 2009. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
3.      Suriasumantri, Jujun S. 2010. Menguak Cakrawala Keilmuan Landasan Filosofis Penulisan Tesis dan Disertasi. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
4.      Susanto, A. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemelogis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.




    






































           
                                   











Tidak ada komentar:

Posting Komentar