A.
Pengertian etika
Secara etimologi istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno,
yaitu ethos atau ethikos. Ethos diartikan
sifat, watak, sikap, kebiasaan, atau tempat yang biasa. Sedangkan kata ethikos berarti susila, keadaban, atau
kelakuan dan perbuatan yang baik. Jadi, jika dilihat dari asal-usul kata etika,
maka etika dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan
atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Selain secara etimologis, pengertian etika dapat dilihat dari kamus,
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dirumuskan dalam tiga arti sebagai
berikut:
- Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
- Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
- Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Berikut penulis sajikan beberapa pendapat dari para ahli yang
mengemukakan tentang definisi etika menurut persepsi dan pemahaman mereka
masing-masing:
- Ahmad Yamin, etika diartikan sebagai ilmu yang menjelaskan arti baik-buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
- Abdullah, etika diartikan sebagai ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai buruk dengan memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat dicerna akal pikiran.
- Ki Hajar Dewantara mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan dalam hidup manusia semuanya, teristimewa mengenai gerak-gerik pikiran.
- Surahwadi Lubis mengartikan etika sebagai ilmu filsafat tentang nilai-nilai kesusilaan, tentang baik dan buruk.
- H. Devos mengartikan etika sebagai ilmu pengetahuan mengenai kesusilaan secara ilmiah.
- Sumaryono mengartikan etika sebagai studi tentang kebenaran dan ketidak benaran berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui kehendak manusia.
B.
Pengertian ilmu
Istilah ilmu diambil dari bahasa Arab yaitu “alima, ya’lamu, ‘ilman” yang berarti mengerti atau memahami
benar-benar. Dalam bahasa Inggris istilah ilmu berasal dari kata science, yang berasal dari bahasa Latin scienta dari bentuk kata kerja scire, yang berarti mempelajari dan
mengetahui.
Menurut The Liang Gie (dalam Surajiyo, 2010: 56) memberikan
pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan
suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia
ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang
menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia. Menurut W. Atmojo
(dalam A. Susanto, 2011: 76) ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang
disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan
untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan itu. Adapun
menurut A. Susanto (2011: 78) ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang
dilaksanakan dengan metode tertentu yang akhirnya menghasilkan pengetahuan.
Beberapa syarat yang perlu dipenuhi oleh suatu pengetahuan untuk
dapat masuk kategori sebagai ilmu, menurut Maufur (dalam A. Susanto, 2011: 45)
adalah sebagai berikut:
- Sistematis, yakni ada urutan dari awal hingga akhir, dan ada hubungan yang bermakna antara bagian-bagian atau fakta yang satu dengan fakta yang lainnya yang tersusun secara runtut.
- General, yaitu keumuman sifatnya yang berlaku di manapun (lintas ruang dan waktu) berkaitan dengan kadar mutu yang standar. Dapat juga disebut universal, karena dapat dikomunikasikan kapan dan di manapun, paling tidak di bumi ini. Semisal hukum-hukum fisika yang berlaku di Amerika, maka berlaku juga di Indonesia, Inggris, Belanda, Afrika dan sebagainya.
- Rasional, maksudnya adalah bahwa ilmu sebagai pengetahuan ilmiah bersumber pada pemikiran rasional yang mematuhi kaidah-kaidah logika. Pengujian atas pengetahuan ilmiah adalah penalaran yang betul-betul dan perbincangan yang logis tanpa melibatkan faktor-faktor nonrasional, seperti emosi sesaat dan kesenangan pribadi.
- Objektif, adalah apa adanya mengungkap realitas yang sahih bagi siapa saja.
- Menggunakan metode tertentu dalam mempertanyakan objek tertentu, mencari dan menemukan sesuatu sebagai kebenaran, dan secara terus menerus. Karena ilmu pengetahuan akan terus berkembang ketika ditemukan jawaban sekaligus memunculkan pertanyaan susulan, dan terus dicari jawabannya lagi. Demikian seterusnya.
- Dapat dipertanggungjawabkan dengan menggunakan argumentasi logis rasional, apalagi jika telah melalui eksperimen yang berulang kali.
Senada dengan itu, ilmu menurut The Liang Gie (dalam Surajiyo, 2010:
59) mempunyai 5 ciri pokok:
- Empiris, pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan.
- Sistematis, berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur.
- Objektif, ilmu berarti pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan kesukaan pribadi.
- Analitis, pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok soalnya ke dalam bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian itu.
- Verikatif, dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun.
C.
Hubungan antara etika dan ilmu
Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis
sebagai pertimbangan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.
Tanggung jawab etis menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi harus memerhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga ekosistem,
bertanggung jawab pada kepentingan umum, dan generasi mendatang, serta bersifat
universal karena pada hakikatnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk
mengembangkan dan memperkokoh ekosistem manusia bukan untuk menghancurkan
ekosistem tersebut.
Manusia disebut etis adalah manusia yang secara utuh dan menyeluruh
mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka mewujudkan keseimbangan antara
kepentingan pribadi dengan orang lain, antara rohani dengan jasmani, dan
sebagai makhluk ciptaan-Nya. Dengan demikian, etika dibutuhkan sebagai
pertimbangan pemikiran yang kritis, yang dapat membedakan antara apa yang sah
dan yang tidak sah, membedakan apa yang benar dan apa yang tidak benar.
D.
Filosofi pendidikan anak usia dini
Manusia
merupakan makhluk Tuhan yang paling tinggi derajatnya, paling unik, penuh
dinamika dalam perkembangannnya dan memiliki potensi untuk mengembangkan
dirinya yang dianugerahkan kepadanya bila mendapatkan layanan yang sesuai.
Sebagai manusia, semenjak berusia dini mereka telah dibekali dengan berbagai
potensi-potensi yang perlu dikembangkan agar kelak dapat menjalankan fungsi dan
perannya sebagai manusia secara efektif dan produktif dalam menjalami kehidupan
sehari-hari. Begitu pentingnya peran anak, para ahli pendidikan anak telah
berusaha mencari jawaban yang akurat tentang anak.
Usaha untuk menemukan kebenaran tentang
anak meruapakan usaha menemukan filsafat yang benar tantang anak. Filsafat
pendidikan anak usia dini pada hakikatnya adalah penerapan pandangan-pandangan
filsafat dalam pendidikan anak usia dini. Dalam arti lain, filsafat pendidikan
anak usia dini adalah pengaplikasian analisis-analisis atau kajian-kajian
filsafat dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini baik menyangkut
kurikulum, aspek pendidikan, tujuan pendidikan, objek pendidikan, pendekatan,
dan model pembelajaran dalam pendidikan anak usia dini.
Pandangan orang tentang anak
berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan, pengalaman dan proses budaya yang
berlaku dalam suatu masyarakat. Pandangan seseorang tentang anak mempengaruhi
perlakukan pendidikan terhadap anak itu sendiri. Para ahli telah memberikan
perhatian yang serius terhadap anak usia dini dan pendidikannya. Mereka berasal
dari berbagai budaya dan suku bangsa dan latar belakang disiplin ilmu. Sebagai
akibat perbedaan latar belakang, mereka pun mengkaji dan melihat secara berbeda
pula tentang anak usia dini dan pendidikan yang sesuai.
Berbagai pemikiran pada tokoh pendidikan
anak usia dini melahirkan filosofi pendidikan anak usia dini. Berikut ini akan
dibahas beberapa tokoh pendidikan anak dan pemikiran filosifis terhadap anak
usia dini.
1) Filosofi
Islam
Pemikir utama pendidikan anak usia dini
adalah Nabi Muhammad S.A.W. Beliau merupakan tokoh pendidikan yang menganjurkan
pendidikan harus dimulai sejak kecil. Beliaulah yang menganjurkan pendidikan
sebagai proses “life long of educaton”. Sabba Rasulullah Saw
menyebutkan: “Utlubul ilma minal mahdi
illal lahdi”, (tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat). Sabda ini
memberikan petunjuk yang tegas tentang pendidikan semenjak usia dini. Sabda ini
menekankan bahwa pendidikan merupakan proses yang kontinuitas mulai anak dalam
gendongan orangtua sampai manusia meninggal dunia. Sabda ini memberi makna
bahwa pendidikan itu penting dan tidak ada kata berhenti untuk belajar untuk
memperoleh ilmu.
2) Ki Hajar
Dewantara
Ki Hajar Dewantara berpendapat
bahwa anak-anak adalah mahluk hidup yang memiliki kodratnya masing-masing. Kaum
pendidik hanya membantu menuntun kodratnya tersebut. Jika anak memiliki kodrat
yang tidak baik, maka tugas pendidik untuk membantunya menjadi baik. Jika anak
sudah memiliki kodrat yang baik, maka ia akan lebih baik lagi jika dibantu
melalui pendidikan. Kodrat dan lingkungan merupakan konvergensi yang saling
berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain.
3) Martin
Luther King (1483 – 1546)
Martin Luther menekankan pada anak agar
menggunakan sekolah sebagai sarana untuk mengajar anak membaca. Ia juga percaya
bahwa keluarga sebagai institusi yang paling penting merupakan peletak dasar
pendidikan bagi anak. Tanpa pendidikan maka anak tidak akan mendapatkan bekal
bagi hidupnya di masa yang akan datang. Karena itu pendidikan dan sekolah bukan
hanya sekedar tempat anak bersosialisasi saja, tetapi juga memiliki makna
sebagai sarana religius dan penegak moral.
4) John
Locke (1632-1704)
John Locke adalah pencetus teori “tabula rasa” yang menganggap bahwa anak
sebagai kertas putih atau tablet yang kosong. Anak hidup di dalam lingkungannya
yang sangat berpengaruh dalam proses pembentukan seorang anak. Melalui
pengalaman-pengalaman yang dilalui anak bersama lingkungannya, akan menentukan
karakter anak. Dia sangat mempercayai bahwa untuk mendapatkan pembelajaran dari
lingkungannya, maka satu-satunya cara bagi anak adalah mendapatkan
pelatihan-pelatihan sensoris.
Rangkuman :
1.
Etika adalah ilmu yang
membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat
dinilai baik dan mana yang dapat dinilai buruk dengan memperlihatkan amal
perbuatan manusia sejauh yang dapat dicerna akal pikiran.
2.
Ilmu adalah rangkaian aktivitas
manusia yang dilaksanakan dengan metode tertentu yang akhirnya menghasilkan
pengetahuan.
3.
Penerapan
ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
4. Etika dibutuhkan sebagai pertimbangan pemikiran yang kritis, yang
dapat membedakan antara apa yang sah dan yang tidak sah, membedakan apa yang
benar dan apa yang tidak benar.
Daftar
Pustaka:
1. Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu
dan Perkembangannya di Indonesia, Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.
2. Suriasumantri, Jujun S. 2009. Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
3. Suriasumantri, Jujun S. 2010. Menguak
Cakrawala Keilmuan Landasan Filosofis Penulisan Tesis dan Disertasi.
Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
4. Susanto, A. 2011. Filsafat
Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemelogis, dan Aksiologis.
Jakarta: Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar