Senin, 13 Februari 2012

Pendekatan Kognitivisme dalam Pendidikan dan Pembelajaran

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

Pendidikan diartikan secara sederhana sebagai usaha manusia untuk membina kepribadian sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat, kebudayaan dan agama. Berikutnya pendidikan juga diartikan sebagai usaha sadar yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih baik secara mental maupun spritual.[1] Istilah pendidikan dewasa ini telah banyak mengalami perkembangan baik secara teoritis ataupun praktis, berbagai macam percobaan serta penelitian telah banyak melahirkan ratusan filosof pendidikan yang hasilnya dijadikan dasar atau landasan operasional pendidikan di lapangan.
Menjalankan pendidikan secara garis besar tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bermacam persoalan sering kali menjadi penghambat atau penghalang pertumbuhan pendidikan baik di daerah, pusat bahkan hingga pendidikan dunia. Persoalan yang dihadapi tidak jauh berkisar antara unsur yang terdapat dalam pendidikan itu sendiri.
Proses pendidikan yang dewasa ini lahir dengan istilah pembelajaran, hal ini tentunya memberikan perhatian bersama bagi semua pengamat dan praktisi pendidikan untuk melihat ulang perjalanan pembelajaran yang selama ini berjalan. Telah banyak para ahli serta filosof pendidikan yang telah menghabiskan usia serta waktunya untuk memberikan kontribusi bagi pengembangan pendidikan hari ini, tanpa terkecuali adalah guru atau pendidik sebagai praktisi di lapangan. Fenomena yang sering muncul ditengah pendidikan kita di Indonesia adalah mengenai perkembangan peserta didik dan perkembangan  seorang pendidik, walau unsur yang lain juga ada namun tidak terlalu muncul dipermukaan.
Seringnya fenomena yang terjadi antara duabelah pihak antara sang guru dan sang murid, memberikan dampak negatif bagi perkembangan ranah kognitif, afektif, dan ranah psikomotornya. Khususnya fenomena ranah kognitif, misal terjadinya mis komunikasi antara siswa dan guru atau sebaliknya antara guru dan siswa. Kedua belah pihak memberikan peluang untuk saling menyoroti ketika para siswa tidak lulus atau tidak memiliki perubahan sama sekali setelah menempuh pembelajaran yang diberikan. Dalam hal ini kita tidak dapat menyalahkan semua pihak, akan tetapi perlu penganalisaan yang tajam untuk menemukan solusi atau langkah yang jelas untuk memperbaiki kekurangan dan kemerosotan pendidikan hari ini.
Menjawab fenomena tersebut, perlu melihat kajian teori yang nantinya memberikan pengalaman bersama untuk memecahkan permasalahan yang ada. Menurut teori perkembangan pembelajaran bahwa sikap siswa tidak hanya memerlukan respon atau stimulus untuk melakukan sesuatu, akan tetapi diperoleh karena pengulangan hubungan stimulus-respon dan adanya reward dan reinforcement namun berupa fungsi pengalaman-pengalaman persepsi dan proses kognitif yang mencakup ingatan, pengolahan informasi, dan sebagainya. Teori ini disebut dengan teori kognitivisme, yang menjelaskan bahwa belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang diamati.[2] Teori kognitivisme telah banyak dikembangkan oleh beberapa ahli seperti teori perkembangan piaget, teori belajar penemuan Jerome Bruner, teori belajar bermakna Ausubel, dan sebagainya. Teori- teori tersebut menarik untuk dikaji sebagai pertimbangan kita dalam menjalankan proses pembelajaran, guna tercapainya tujuan atau visi dan misi pendidikan.

B.    Tujuan
Adapun tujuan makalah ini adalah:
1. Untuk menjelaskan hakikat kognitivisme
2. Untuk menjelaskan tokoh serta konsep teori kognitif.
3. Menjelaskan proses pengolahan informasi
4. Menjelaskan aplikasi kognitif dalam pendidikan dan pembelajaran

C.   Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana hakikat kognitivisme?
2. Siapa saja tokoh-tokoh serta konsep teori kognitif?
3. Bagaimana proses pengolahan informasi?
4. Bagimana aplikasi teori kognitif dalam pendidikan dan    pembelajaran?


BAB II
PEMBAHASAN MAKALAH

A.    Pengertian Kognitivisme
Teori kognitivisme pada hakikatnya adalah teori yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan kemampuan manusia dalam memahami berbagai pengalamannya sehingga mengandung makna bagi manusia tersebut. Menurut Martini Jamaris, kognitif adalah proses yang terjadi secara internal di dalam otak pada waktu manusia sedang berpikir.[3] Oleh sebab itu, pemahaman terhadap perilaku manusia bukan dilakukan berdasarkan hubungan stimulus-respon, akan tetapi berdasarkan proses yang terjadi di dalam pikiran manusia pada waktu menerima informasi, seperti bagaimana informasi tersebut diorganisir, diingat, dan digunakan.
Kognitivisme meyakini bahwa belajar adalah hasil dari usaha individu dalam memaknai pengalaman-pengalamannya yang berkaitan dengan dunia sekitarnya. Oleh sebab itu belajar adalah proses yang melibatkan individu secara aktif. Untuk melakukan hal tersebut, maka seluruh kemampuan mental digunakan secara optimal. Hal ini tercermin dari cara berpikir yang digunakan individu dalam menghadapi situasi tertentu, selanjutnya harapan-harapan yang dirasakannya mempengaruhi cara ia belajar. Apa yang dipelajari individu sangat tergantung dari apa yang telah diketahuinya, dengan demikian pengetahuan yang ada dalam schemata atau struktur pengetahuan yang tersimpan dalam memori menjadi dasar untuk mempelajari pengetahuan yang baru. Jadi issu sentral yang menjadi perhatian para ahli psikologi kognitif adalah mekanisme yang berlangsung secara internal di dalam pikiran manusia pada waktu manusia berpikir dan proses yang terjadi dalam usaha manusia untuk mengetahui sesuatu yang dipikirkannya.

B.    Tokoh-tokoh serta Konsep Teori Kognitif
1.    Jean Piaget
Menurut Piaget, kemampuan kognitif berkembang sejalan dengan perkembangan sel-sel saraf otak. Jean Piaget adalah seorang ahli biologi dan psikologi perkembangan berkebangsaan Swiss. Ia merupakan ahli yang menemukan teori perkembangan kognitif (cognitive developmental). Piaget menyatakan bahwa anak membangun kemampuan kognitifnya melalui interaksi dengan dunia sekitarnya. Hasil dari interaksi ini terbentuklah struktur kognitif yang disebut dengan skemata, yang dimulai dengan terbentuknya struktur berpikir secara logis, yang kemudian berkembang menjadi suatu generalisasi atau kesimpulan umum.
Menurut Piaget, setiap individu mengalami fase-fase perkembangan kognitif sebagai berikut:[4]
a)    Fase Sensori-motor (0-2 tahun)
Fase sensori-motor menempati dua tahun pertama kehidupan. Fase ini diidentikkan dengan kegiatan motorik dan persepsi yang masih sederhana. Pada fase ini bayi membangun pemahamannya tentang dunia sekitarnya melalui pengalaman-pengalaman panca inderanya, seperti melihat, mendengar, dan berbagai gerakan fisik yang dilakukannya.
b)    Fase Pra-operasional (2-7 tahun)
Pada akhir masa dua tahun dalam kehidupan anak, terjadi peningkatan kualitas kognitif yang disebut fase pra-operasional. Ciri utama fase ini adalah berpikir simbolik, intuitif, egosentris, dan suka mendengarkan dongeng.
c)    Fase Operasional konkret (7-11 tahun)
Fase ini merupakan permulaan anak berpikir rasional. Ini berarti anak memiliki operasi-operasi logis yang dapat diterapkannya pada masalah-masalah yang kongkrit. Bila menghadapi suatu pertentangan antara pikiran dan persepsi, anak dalam  periode operasional kongkrit memilih mengambil keputusan logis, dan bukan keputusan perseptual seperti anak pra-operasional
d)    Fase Operasional formal (11 tahun – sampai usia dewasa)
Fase operasional formal adalah fase ke empat dari perkembangan kognitif menurut Piaget. Dalam fase ini cara berpikir anak berpindah dari berpikir secara operasi kongkrit ke cara operasi formal. Anak telah mampu melakukan proses berpikir rasional dan mampu memecahkan masalah secara ilmiah, yaitu proses berpikir yang dilakukan secara sistematis, yang dimulai dari masalah, pemahaman terhadap masalah, mengajukan hipotesis terhadap pemecahan masalah, mengumpulkan, memverifikasi data, dan mengambil kesimpulan yaitu apakah hipotesis yang diambil dapat diterima atau ditolak.
Pada usia pubertas anak mulai berpikir tentang jati dirinya dan proyeksi dirinya dimasa depan, misalnya akan menjadi apa dia kelak. Selanjutnya, kesadaran tentang jati diri tersebut akan mempengaruhi sudut pandang anak pada usia dewasa tentang aspek-aspek sosial yang berkembang sesuai dengan perkembangan terhadap dirinya yang berada diantara orang-orang disekitarnya.
Dalam pandangan Piaget, perkembangan kognitif dilakukan melalui serangkaian proses, yaitu proses asimilasi, akomodasi, dan equilibrium. Proses asimilasi berkaitan dengan proses penyerapan informasi baru kedalam informasi yang telah ada dalam struktur kognitif yang disebut schemata. Akomodasi adalah kemampuan untuk menggunakan informasi atau pengetahuan yang telah ada dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Adapun equilibrium terjadi pada saat mengalami hambatan dalam melakukan akomodasi pengetahuan dan pengalamannya untuk mengadaptasi lingkungan disekitarnya. Equilibrium ini dapat dimaknai sebagai sebuah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi atau pengembangan antara lingkungan luar dengan struktur kognitif yang ada dalam dirinya.

2.    Jerome Bruner
Salah satu teori perkembangan kognitif yang terkemuka adalah teori yang dikembangkan oleh Jerome Bruner. Menurut Bruner proses perkembangan kognitif berlangsung sejalan dengan perkembangan anak, dalam masa ini terjadi beberapa transisi perkembengan kognitif. Perkembangan kognitif menurutnya adalah perkembangan kemampuan berpikir yang berlangsung secara setahap demi setahap. Pengembangan kemampuan berpikir tersebut memerlukan interaksi anak dengan lingkungannya, yang disebutnya sebagai interaksi antara kemampuan yang ada dalam diri manusia dengan lingkungan disekitarnya dan berlangsung dalam waktu yang panjang. Hal ini disebabkan karena proses perkembangan kemampuan berpikir berlangsung sejalan dengan proses belajar. Dalam hal ini melalui proses belajar, anak secara perlahan dan terus menerus mengorganisasi lingkungannya ke dalam berbagai unit yang bermakna. Proses ini disebut Bruner sebagai proses konseptualisasi dan kategorisasi konsep yang tersusun dalam memori.
Melalui penelitiannya tentang evolusi perkembangan manusia, Bruner menemukan tiga bentuk sistem berpikr manusia yang menstruktur kemampuan manusia dalam memahami dunia sekitarnya. Ia mengemukakan bahwa manusia merespon lingkungan sekitarnya melalui gerakan motorik, melalui imajinasi dan persepsi tentang lingkungannya, dan melalui cara yang mewakili imajinasi dan persepsinya. Ketiga sistem berpikir manusia tersebut disebut sebagai (a) enactive representation, (b) iconic representation, (c) symbolic representation.[5]
a)  Enactive representation
Enactive representation berkaitan dengan cara yang digunakan dalam membangun kemampuan kognitif melalui pengalaman empirik atau pengalaman nyata. Misalnya, anak akan mengerti nama suatu makanan apabila makanan tersebut ditunjukkan kepadanya dan disebutkan namanya.
b)  Iconic representation
Iconic representation berkaitan dengan kemampuan manusia dalam menyimpan pengalaman empirik di dalam ingatannya. Anak yang telah mencapai kemampuan ini sudah dapat menyebutkan nama benda, dan peristiwa yang ditampilkan melalui gambar.
c)  Symbolic representation
Symbolic representation berkaitan dengan kemampuan manusia dalam memahami konsep dan peristiwa yang disajikan melalui bahasa. Pernyataan yang diungkapkan melalui bahasa mengandung konsep dan karakteristik konsep serta makna yang berkaitan dengan konsep tersebut. Dalam fase ini anak telah mampu berpikir abstrak.
Bruner terkenal dengan teori belajar yang disebut discovery learning dan intuitive thinking. Dalam menerapkan teorinya tersebut, maka ia menjelaskan sebagai berikut.
·         Guru perlu menciptakan suatu situasi yang mengandung masalah yang dapat mendorong siswa untuk menemukan sendiri kaitan struktur konsep dengan masalah yang dihadapinya dan mencari jalan keluarnya.
·         Struktur konsep tersebut terdiri dari ide-ide pokok yang terkandung dalam masalah, hubungan-hubungan yang ada atau detail dari ide-ide tersebut. Apabila siswa memahami ide pokok yang ada dalam struktur konsep maka ia akan menemukan sendiri secara detail informasi yang terkait dengan struktur konsep tersebut.
·         Berkaitan dengan kedua hal tersebut di atas, menurut Bruner, proses pembelajaran sebaiknya berlangsung secara induktif, bergerak dari fakta khusus dan spesifik ke arah generalisasi. Dalam hal ini guru hanya menyajikan ide-ide pokok, dan proses ide pokok menuju generalisasi ditemukan oleh siswa sendiri.
·         Dalam proses belajar, Bruner menyarankan pengembangan kemampuan dalam intuitive thinking atau berpikir intuitif. Dalam hal ini, guru menyajikan bukti-bukti yang kurang lengkap kemudian siswa diminta memprediksi kemungkinan adanya bukti-bukti lain yang dapat melengkapi bukti tersebut dengan menggunakan pemikiran intuitif secara sistematis. Untuk mengembangkan pemikiran intuitif ini, Bruner menyarankan pengembangan spiral kurikulum, artinya kurikulum yang dikembangkan berdasarkan proses kemampuan yang bergerak dari proses kemampuan yang sederhana kepada proses kemampuan yang lebih tinggi.

3.    David Ausubel
Pandangan Ausubel tentang kognitif tidak jauh berbeda dari pandangan Piaget dan Bruner, yaitu kemampuan kognitif berkembang secara bertahap dengan proses tertentu. Menurut Ausubel proses utama dalam menambah informasi ke dalam struktur kognitif atau schemata adalah dengan cara menambahkan informasi baru ke dalam struktur kognitif yang disebutnya dengan istilah subsumption. Ausubel membagi tahapan dan proses perkembangan kognitif ke dalam tiga bentuk yaitu (a) derivative subsumption, (b) correlative subsumption, dan (c) obliterative subsumption.
a)    Derivative subsumption
Derivative subsumption berkaitan dengan kenyataan bahwa belajar terjadi pada waktu anak membangun konsep baru di atas konsep yang telah diketahuinya. Misalnya, apabila anak telah mengetahui konsep apel maka konsep tersebut diperluas dengan konsep-konsep yang lebih detail yang berkaitan dengan apel, seperti apel merah, apel hijau, rasa apel, dan sebagainya.
b)    Correlative subsumption
Correlative subsumption berkaitan dengan perluasan konsep pada aspek-aspek terkait dengan konsep-konsep lain. Misalnya, anak yang telah memahami konsep apel akan menghubungkannya dengan konsep jeruk atau konsep tomat, seperti bentuknya, manfaatnya, dan sebagainya.
c)    Obliterative subsumption
Obliterative subsumption berkaitan dengan kemampuan dalam menentukan cara mempelajari konsep dan kaitannya. Misalnya, untuk memahami konsep apel maka anak perlu mengetahui karakteristik apel, seperti apel yang baik untuk dibuat kue, apel yang baik dimakan mentah, dan apel yang baik untuk dibuat juice.
Inti teori Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna atau meaningful learning. Belajar bermakna adalah suatu proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai oleh seseorang yang sedang belajar.[6] Sesuatu yang bermakna menurut Ausubel dapat dipetik dari suatu bahan bacaan yang dibaca atau sesuatu yang berada diluar diri siswa. Menurutnya materi yang disajikan melalui bacaan dan hal-hal lain yang dialami siswa dapat saja menjadi sesuatu yang bermakna. Kebermaknaan terjadi apabila siswa secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan menggunakan operasi kognitif.
Pandangan Ausubel tentang belajar bertolak belakang dengan pandangan Bruner. Menurut Ausubel belajar seharusnya berlangsung secara reception atau menerima, bukan berdasarkan discovery atau menemukan. Oleh sebab itu, guru seharusnya menyajikan materi pelajaran yang disusun sesuai dengan urutan dan keluasannya kepada siswa dalam bentuk yang utuh. Dengan kata lain, seluruh materi pelajaran, konsep, prinsip, proposisi, teori, dan aplikasinya disajikan secara utuh oleh guru kepada siswa, dan tugas siswa adalah menginternalisasi informasi yang disampaikan guru tersebut untuk digunakan pada masa yang akan datang. Ausubel menyebut metode pembelajaran ini dengan istilah expository teaching. Penerapan expository teaching memiliki tiga karakteristik seperti di bawah ini.
·    Memiliki tingkat interaksi yang tinggi antara guru dan siswa yang dapat dilakukan dengan metode ceramah, tanya jawab, dan demonstrasi.
·         Menggunakan contoh yang banyak dan bervariasi.
·      Penyaian materi pembelajaran dilakukan secara deduktif, artinya dimulai dari hal-hal yang umum menuju kepada hal-hal yang khusus. Openyajian tersebut disusun secara berurutan. Penyajian materi pembelajaran ini dikenal dengan istilah advance organizers. Advance organizers adalah cara penyajian pembelajaran yang dimulai ndengan pernyataan yang mengandung konsep yang luas atau generalisasi, dan menguraikan konsep itu ke dalam konsep-konsep yang lebih spesifik. Dalam advance organizers, konsep atau generalisasi disajikan kepada siswa dalam mempelajari materi yang baru, akan tetapi dikaitkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Dengan demikian siswa mempunyai kerangka berpikir yang akan digunakannya sebagai dasar dalam melakukan interpretasi terhadap materi tersebut ke dalam konsep-konsep yang lebih spesifik.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran yang berdasarkan meaningful learning dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
·         Materi pembelajaran disusun dalam urutan logis
·         Materi pembelajaran disusun berdasarkan advance organizers
·         Materi pembelajaran dikaitkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa
· Menggunakan expository teaching, yang disajikan dalam bentuk penjelasan, demonstrasi dan catatan atau narasi
·         Menyajikan materi pembelajaran dengan berbagai konteks yang relevan
·         Mereview materi pembelajaran yang disajikan untuk mengetahui efektifitas penyajian dan umpan balik yang diperlukan
·  Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menerapkan konsep baru yang dipelajarinya dalam konteks yang bermakna.

4.    Bloom
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.[7] Untuk mengavaluasi hasil belajar siswa yang diharapkan, diperlukan tujuan yang bersifat operasional yaitu tujuan berupa tingkah laku yang dapat dikerjakan dan diukur.
Benyamin Bloom mengklasifikasikan kemampuan hasil belajar kedalam tiga kategori, yaitu:
a.    Ranah kognitif, meliputi kemampuan menyatakan kembali konsep atau prinsip yang telah dipelajari dan kemampuan intelektual.
b.    Ranah afektif, berkenaan dengan sikap dan nilai yang terdiri atas aspek penerimaan, tanggapan, penilaian, pengelolaan, dan penghayatan.
c.    Ranah psikomotorik, mencakup kemampuan yang berupa keterampilan fisik (motorik) yang terdiri dari gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, ketepatan, serta ekspresif.
Adapun dalam makalah ini, penulis hanya menjelaskan ranah kognitif secara lebih terperinci, dimana Bloom membagi ranah kognitif kedalam enam jenjang kemampuan secara hierarkis, yaitu:
1)    Pengetahuan
Merupakan kemampuan untuk mengenal atau mengingat kembali sesuatu objek, ide, prosedur, prinsip atau teori yang pernah ditemukan dalam pengalaman tanpa harus memahami atau menggunakannnya. Tingkatan ini merupakan tingkatan yang paling rendah namun menjadi prasyarat bagi tingkatan selanjutnya. Contoh kata kerja yang digunakan yaitu menyebutkan, mendefinisikan, menggambarkan.
2)    Pemahaman
Merupakan salah satu jenjang kemampuan dalam proses berpikir dimana siswa dituntut untuk memahami yang berarti mengetahui tentang sesuatu hal dan dapat melihatnya dari beberapa segi. Pada tingkatan ini, selain hapal siswa juga harus memahami makna yang terkandung, misalnya dapat menjelaskan suatu gejala, dapat menginterpretasikan grafik, bagan atau diagram serta dapat menjjelaskan konsep atau prinsip dengan kata-kata sendiri. Contoh kata kerja yang digunakan yaitu menyajikan, menginterpretasikan, menjelaskan.
3)    Penerapan
Merupakan kemampuan menggunakan prinsip, teori, hukum, aturan, maupun metode yang dipelajari pada situasi baru atau pada situasi kongkrit. Contoh kata kerja yang digunakan yaitu mengaplikasikan menunjukkan, menghitung.
4)    Analisis
Merupakan kemampuan untuk menganalisa atau merinci suatu situasi, atau pengetahuan menurut komponen yang lebih kecil dan memahami hubungan diantara bagian yang satu dengan yang lain.
5)    Sintesis
Merupakan kemampuan untuk mengintegrasikan bagian-bagian yang terpisah menjadi suatu keseluruhan yang terpadu, atau menggabungkan bagian-bagian sehingga terjelma pola yang berkaitan secara logis, atau mengambil kesimpulan dari peristiwa-peristiwa yang ada hubungannya satu dengan yang lainnya. Contoh kata kerja yang digunakan yaitu menghasilkan, merumuskan, mengorganisasikan.
6)    Evaluasi
Merupakan kemampuan untuk membuat pertimbangan (penilaian) terhadap situasi, nilai-nilai, atau ide-ide. Kemampuan ini merupakan kemampuan tertinggi dari kemampuan lainnya, yaitu bila seseorang dapat melakukan penilaian terhadap situasi, nilai-nilai atau ide-ide. Contoh kata kerja yang digunakan yaitu menilai, menafsirkan, memutuskan.

5.    Gestalt
Manusia pada hakikatnya memahami objek dan peristiwa secara keseluruhan dengan pola yang terintegrasi, tidak terpisah-pisah. Berdasarkan cara manusia memahami lingkungannya maka ia akan memahami lingkungannya dalam pola yang mengandung makna. Oleh sebab itu, Gestalt memandang bahwa keseluruhan lebih berarti dari pada bagian-bagian.
Teori Gestalt memandang bahwa belajar adalah proses yang didasarkan pada pemahaman (insight).[8] Karena pada dasarnya setiap tingkah laku seseorang selalu didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi di mana tingkah laku tersebut terjadi. Pada situasi belajar, keterlibatan seseorang secara langsung dalam situasi belajar tersebut akan menghasilkan pemahaman yang dapat membantu individu tersebut memecahkan masalah. Dengan kata lain teori gestalt ini menyatakan bahwa yang paling penting dalam proses belajar individu adalah dimengertinya apa yang dipelajari individu tersebut. Oleh karena itu, teori belajar gestalt ini disebut teori insight.
Konsep insight dapat juga berarti pengamatan dan pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian dalam suatu situasi permasalahan. Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan teori Gestalt, guru tidak memberikan potongan-potongan atau bagian-bagian bahan ajaran, tetapi selalu satu kesatuan yang utuh. Guru memberikan suatu kesatuan situasi atau bahan yang mengandung persoalan-persoalan, dimana anak harus berusaha menemukan hubungan antar bagian, memperoleh insight agar ia dapat memahami keseluruhan situasi atau bahan ajaran tersebut. “insight” itu sering dihubungkan dengan pernyataan spontan seperti “aha” atau “oh, see now”. Menurut teori Gestalt ini pengamatan manusia pada awalnya bersifat global terhadap objek-objek yang dilihat, karena itu belajar harus dimulai dari keseluruhan, baru kemudian berproses kepada bagian-bagian. Pengamatan artinya proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera seperti mata dan telinga.

C.   Proses Pengolahan Informasi
Pengolahan informasi merupakan salah satu bentuk pendekatan berdasarkan kognitivisme. Pendekatan ini, memandang proses belajar yang terjadi dalam diri individu sebagai suatu proses penerimaan informasi. Hal ini dapat dianalogikan dengan proses yang terjadi dalam komputer. Belajar dimulai dari input yang datang dari lingkungan, diterima oleh pancaindra, kemudian diproses dan disimpan di dalam memori, dan output dari pembelajaran adalah berbagai kemampuan atau kompetensi.[9]
Pada dasarnya proses pengolahan informasi adalah usaha pencarian makna yang dapat menjelaskan hubungan antara stimulus yang ditangkap oleh pancaindra atau input, yang dilihat, didengar, dirasa, dicium, dan disentuh dengan respon atau output yang sesuai.
Secara terperinci dapat dijelaskan bahwa komponen penerimaan informasi terdiri dari:
a)    Penerimaan input sensori dipengaruhi oleh orientasi individu yaitu hal-hal yang berkaitan dengan penerimaan dan pemilihan input sensori yang akan diperhatikannya.
b)    Mengorganisasi pola ingatan dan schemata yang berkaitan dengan pemilihan input sensori yang menjadi perhatian. Schemata adalah struktur pengetahuan yang disimpan dalam ingatan.
c)    Dalam mengorganisasi pola ingatan, ingatan jangka panjang merupakan sumber informasi yang dibutuhkan, yang diwujudkan dalam bentuk mengingat kembali informasi yang berkaitan dengan pengetahuan, perasaan, dan keterampilan yang dicari untuk disusun kembali sesuai dengan kebutuhan.
d)    Hasil penyusunan tersebut menjadi ingatan aktif yang digunakan untuk memberikan respon yang sesuai.
Bertitik tolak dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengolahan atau pemerosesan informasi berkaitan dengan cara yang digunakan oleh individu dalam memproses informasi yang diterimanya dari lingkungannya, proses mengirimkan informasi tersebut ke dalam pikirannya, mengolah dan menyimpan informasi menjadi ingatan, mentransformasikan serta memanggil kembali informasi yang telah disimpan dalam ingatan, dan menjadikannya ingatan aktif yang digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi individu tersebut.

D.   Aplikasi Teori Kognitif dalam Pendidikan dan Pembelajaran
Aplikasi teori belajar kognitivisme dalam pendidikan dan pembelajaran, yaitu guru harus memahami bahwa siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya, anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar belajar menggunakan benda-benda kongkrit, keaktifan siswa sangat dipentingkan, guru menyusun materi dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana kekompleks, guru menciptakan pembelajaran yang bermakna, memperhatikan perbedaan individual siswa untuk mencapai keberhasilan siswa. Jadi dalam kegiatan pembelajaran guru lebih memusatkan perhatian siswa kepada cara berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti. Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Kognitif adalah proses yangterjadi secara internal di dalam otak pada waktu manusia sedang berpikir. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap perilaku manusia bukan dilakukan berdasarkan hubungan stimulus-respon, akan tetapi berdasarkan proses yang terjadi di dalam pikiran manusia pada waktu menerima informasi, seperti bagaimana informasi tersebut diorganisir, diingat, dan digunakan.
Menurut Piaget, kemampuan kognitif berkembang sejalan dengan perkembangan sel-sel saraf otak. Piaget menyatakan bahwa anak membangun kemampuan kognitifnya melalui interaksi dengan dunia sekitarnya. Hasil dari interaksi ini terbentuklah struktur kognitif yang disebut dengan skemata, yang dimulai dengan terbentuknya struktur berpikir secara logis, yang kemudian berkembang menjadi suatu generalisasi atau kesimpulan umum. Bruner menjelaskan bahwa proses perkembangan kognitif berlangsung sejalan dengan perkembangan anak, dalam masa ini terjadi beberapa transisi perkembengan kognitif. Perkembangan kognitif menurutnya adalah perkembangan kemampuan berpikir yang berlangsung secara setahap demi setahap. Bloom terkenal dengan taksonomi tujuan pendidikannya yang dibagi kedalam tiga ranah yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Adapun Gestalt memandang bahwa proses belajar sebagai suatu yang berlangsung dalam serangkaian proses yang mengandung tujuan, penjelasan, imajinasi, dan kreativitas. Oleh sebab itu proses belajar dapat diidentifikasi dengan adanya kegiatan berpikir atau proses konseptualisasi.

B.    Saran-saran
Adapun saran penulis antara lain:
1)    Guru hendaknya menyusun materi pembelajaran dari yang sederhana kekompleks
2)    Dalam melaksanakan pembelajaran guru harus memperhatikan perbedaan individual siswa untuk mencapai keberhasilan
3)    Guru hendaknya menitikberatkan pada proses belajar, dari pada hasil yang dicapai oleh siswa
4)    Guru hendaknya mengusahakan atau merancang agar siswa terlibat secara aktif dalam kegiatan belajar.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hamid, Teori Belajar dan Pembelajaran, Medan: Universitas Negeri Medan Press, 2003

Halahullahal, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008

John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2008

Martini Jamaris, Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, Jakarta: Yayasan Penamas Murni, 2010

Ratna Wilis, Teori-teori Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Erlangga, 2011

Robert E. Slavin, Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktek, Jakarta: Indeks, 2011

William Crain, Teori Perkembangan Konsep dan Aplikasi, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2007

http://downloads.ziddu.com, diakses tanggal 20 Januari 2012

http://kreasimudaunisi.blogspot.com, diakses tanggal 17 Januari 2012

http://tatangmanguny.wordpress.com, diakses tanggal 19 Januari 2012


[1] Halahullahal, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h. 1
[2] Abdul Hamid, Teori Belajar dan Pembelajaran (Medan: Universitas Negeri Medan Press, 2003), h. 20
[3] Martini Jamaris, Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan (Jakarta: Yayasan Penamas Murni, 2010), h.32
[4] Ratna Wilis, Teori-teori Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 137-140
[5] Martini Jamaris, Op. Cit. , h. 183
[6] http://kreasimudaunisi.blogspot.com, diakses tanggal 17 Januari 2012
[7]  http://tatangmanguny.wordpress.com, diakses tanggal 19 Januari 2012
[8] http://downloads.ziddu.com, diakses tanggal 20 Januari 2012
[9] Martini Jamaris, Op. Cit. , h. 174

Pengembangan Keterampilan Berkomunikasi


 
Konsep Kunci
·      Komunikasi dan bahasa adalah keterampilan sangat kompleks, yang paling baik difahami pada saat komunikasi itu sedang berlangsung dalam konteks dari suatu interaksi sosial.
·      Keterampilan berkomunikasi berkembang pada tahap awal kelahiran dan menjadi landasan berbahasa di tahun-tahun pertama.
·      Perkembangan bahasa pada masa prasekolah merupakan keterampilan pragmatis di mana bahasa dipakai menurut kegunaannya yang memudahkan anak untuk berkomunikasi secara efektif dan tepat dalam berbagai konteks sosial.
·      Fokus dari intervensi komunikasi harus di letakkan pada perkembangan fungsi keterampilan berkomunikasi yang memudahkan anak memulai interaksi sosial untuk mempengaruhi lingkungannya.  
·      Perilaku kunci bagi orang dewasa saat memfasilitasi keterampilan berkomunikasi adalah mendengarkan dan merespon usaha anak dalam berkomunikasi, kemudian memetakan bahasa berdasarkan pengalaman anak.
·      Pembelajaran bahasa kedua diajarkan dengan cara yang sama seperti keterampilan dalam bahasa utama, di mana bahasa kedua sangat baik dipelajari dalam lingkungan sosial yang interaktif.
·      Pada dasarnya semua anak mampu berkomunikasi. Bagi anak-anak dengan keterbelakangan kemampuan, komunikasi model alternatif dapat di terapkan.
·      Bagi anak yang memiliki kelemahan pendengaran, guru haruslah memperhatikan kedua hal penting yaitu kata-kata yang terlewatkan oleh anak dan penggunakan komunikasi manual.

Subskills Berbahasa
Bloom dan Lahey (1978) mendeskripsikan tentang penggunaan konsep kerangka kerja untuk mengatur kompleksitas dalam pemahaman bahasa. Kerangka kerja ini mendefinisikan tiga dimensi bahasa yaitu : isi, kegunaan dan bentuk. Setiap dimensi mengaitkan beberapa subskills linguistik tradisional seperti semantik, sintaks, morphologi, phonologi dan pragmatik.

Isi, Kegunaan dan Bentuk
Isi dari bahasa adalah pengertiannya – berkenaan untuk atau tentang apa. Kegunaan menunjuk pada fungsi bahasa – serta untuk apa bahasa itu digunakan. Sementara bentuk bahasa berkaitan dengan sintaksisnya juga struktur morphologikal (misalnya urutan dan bentuk katanya) dan bentuk phonologikal (misalnya bunyi khusus atau fonem urutan bunyi dari pembicaraan yang terjadi). Setiap ungkapan bisa dianalisis menurut tiga dimensi ini. Teori kerangka kerja sangatlah membantu dalam menjelaskan multidimensi dan kompleksitas bahasa.

Semantik
Mempelajari makna kata (semantik) sangat tergantung pada interaksi orang dewasa yang memberi penjelasannya. Misalnya berbicara tentang samudera pada anak yang belum pernah punya pengalaman tentang hal itu. Seorang anak tidak akan bisa mempelajari  makna dari suatu kata jika ia tak diberi kesempatan untuk mempelajarinya langsung, yaitu dengan melihat dan menyentuh hal yang dimaksud.
Bloom dan Lahey (1978) mendeskripsikan beberapa hubungan semantik dengan kombinasi dua kata awal yang diekspresikan anak. Ini termasuk pengertian seperti permintaan ulang, kehilangan sesuatu, kemunculan seseorang atau sesuatu, penolakan, aksi fisik, lokasi, kepemilikan dan situasi tertentu.

Syntaks
Mempelajari kaidah-kaidah atau aturan tentang urutan kata yang benar dalam kalimat dan ucapan adalah salah satu aspek syntaks. Anak belajar untuk mengungkapkan kalimat yang benar secara sintaksis hanyalah sekedar usaha untuk berkomunikasi dan mereka secara tak sadar telah mempraktekkannya. Tetapi sebagaimana mereka belajar, anak-anak di manapun mereka berada akan mengembangkan bahasa dalam urutan yang sama. Antara usia 10 dan 14 bulan, biasanya menggunakan kata tunggal untuk berkomunikasi. Saat berumur dua tahun, mereka merangkai dua atau tiga kata bersamaan dan diusia empat tahun mereka telah menguasai aturan-aturan sintaksis serta mulai berkreasi dan mempraktekkan kalimat-kalimat seperti yang telah mereka dengar dan pelajari selama ini.

Morphology
Yaitu kaidah-kaidah dalam perubahan bentuk kata. Kapan menggunakan kata ganti kepemilikan, kapan menggunakan kata dalam bentuk jamak, perbandingan dan seterusnya.
Saat anak mempelajari morphology mereka seringkali membuat kesalahan. Mereka ‘mengovergeneralisasikan’ makna dalam mengungkapkan pendapat mereka. Walau demikian kesalahan mereka adalah logis dan mengisyaratkan bahwa mereka tidak hanya meniru dari apa yang mereka dengar. Disinilah peran orang dewasa untuk menjadi model yang baik bagi mereka dan selalu berupaya membantu mereka dalam berkomunikasi sehingga pada akhirnya mereka sendiri bisa menemukan formula berbahasa yang tepat.

Phonology
Mempelajari kaidah sistem bunyi ucapan dan bahasa (phonology) melibatkan tidak hanya bunyi ucapan tunggal atau fonem, tapi juga menemukan bahwa perubahan nada dan ritme membuat sebuah perbedaan. Pola intonasi (prosodik atau sisi suprasegmental) di pelajari sangat awal. Bayi yang baru berusia beberapa bulan bisa membunyikan nada bicara hampir seperti pola orang dewasa. Pendengar yang teliti bisa memahami pertanyaan dan pernyataan dalam pola-pola intonasi ungkapan seorang bayi, jauh sebelum kata-katanya bisa didengar. Mendengar dengan teliti juga bisa mendeteksi seruan-seruan yang terjadi.
Mendekati usia enam bulan, banyak bayi mulai mengoceh dalam suku kata termasuk sistem fonem dari orang dewasa. Apa yang mereka ungkapkan biasanya masih jauh dari sasaran ucapan. Masuk satu tahun mereka telah belajar untuk menggunakan beberapa bunyi secara akurat, disinilah muncul kata pertama mereka. Namun demikian, keakuratan bunyi itu sangat tergantung pada kemampuan mendengar suara, kefasihan dan seberapa sering mereka mengucapkan itu. Biasanya anak-akan semakin meningkatkan kelancaran bicaranya saat berusia empat tahun.

Pragmatik    
Yaitu pembelajaran tentang bagaimana menggunakan bahasa dengan tepat dalam berbagai konteks adalah suatu hal yang sangat krusial untuk mensukseskan perkembangan keterampilan berkomunikasi (Prutting dan Kirchner, 1987). Pragmatik Linguistik mengacu kepada aturan dan konvensi yang mengatur bagaimana bahasa digunakan dalam situasi yang berbeda. Keterampilan berkomunikasi secara pragmatis juga termasuk perilaku non verbal (Bates 1976, Ochs 1979).
Pembicara dan pendengar secara tak sengaja telah mengikuti suatu panduan berkomunikasi saat mereka berbicara satu sama lain. Ini termasuk juga perilaku seperti saling pandang, menatap dan menunggu pembicara untuk jeda sejenak sebelum si pendengar mulai berbicara. Perilaku memerlukan perhatian untuk memperhalus isyarat. Ekspresi wajah dan bahasa tubuh yang sesuai untuk suatu keadaan, sangat perlu di pelajari. Seorang anak biasanya sangat peka dengan komunikasi non verbal di mana mereka bisa dengan cepat mendeteksi adanya ketidaktulusan dari lawan bicaranya.
Situasi, topik khusus, hubungan antara pembicara dan pendengar serta variabel lainnya dapat menentukan apa yang diucapkan akan selaras dengan bagaimana ia diucapkan. Anak yang tidak menguasai keterampilan pragmatik akan sulit difahami ucapannya oleh teman dalam kelompok belajarnya.
Penelitian menemukan bahwa anak-anak sebenarnya menggunakan petunjuk kontekstual ini untuk mempermudah diri mereka dalam memahami, jauh lebih dalam dari hanya sekedar kata itu sendiri.
Sebagaimana yang digambarkan Bates (1976), Kemahiran dari keterampilan pragmatik mulai berkembang baik sebelum kata pertama anak diucapkan. Bates mendeskripsikan berbagai aksi komunikasi prelinguistik seperti menunjuk dan meraih yang dikombinasikan dengan vokalisasi dan pandangan terarah. Tipe perilaku seperti ini biasanya muncul pada bayi berusia 10 bulan yang merupakan dasar penting pada perkembangan bahasanya dikemudian hari.

Kontribusi dari Teori Interaksi untuk Memahami Perkembangan Komunikasi Awal     
Teori-teori tentang interaksi sosial menemukan bahwa ternyata bahasa paling banyak dipelajari dari sebuah interaksi sosial (Mc-Cormick, Loeb dan Schiefelbusch, 2003). Anak yang berada dalam isolasi dalam arti tidak mempunyai kesempatan berinteraksi sosial dengan orang-orang disekitarnya akan kehilangan ketertarikannya untuk berkomunikasi. Karena komunikasi hanya akan terjadi jika anak memiliki dyad (pasangan signifikan dari individual). Dalam hal ini dyad orang tua-anak atau guru-murid. Kontribusi dari percakapan dan interaksi pada perkembangan keterampilan komunikasi anak dan peran awal pengasuh-batita serta interaksi pengasuh-anak dalam perkembangan anak pengaruhnya tak dapat dipungkiri (Sachs, 2001).
Perubahan lainnya dari fokus studi tentang perkembangan keterampilan berkomunikasi pada anak telah mengalami pergeseran, yaitu dari studi tentang bentuk dan struktur bahasa kepada tujuan pembelajaran perilaku komunikatif anak, serta fungsi dari penggunaan perilaku komunikatif dalam konteks sosial. Fokus dari bidang ini menuju pada pengembangan pragmatik (Bates, 1976).
Perhatian dari bidang ini telah menghasilkan informasi dan teori dengan implikasi penting terhadap lapangan pendidikan khusus anak usia dini. Beberapa teori yang telah dikembangkan merefleksikan beberapa aspek dari fokus interaksi sosial. Tannock, Girolametto dan Siegel (1992) mendeskripsikan sebuah model interaktif yang mengatakan bahwa kemampuan orang tua dalam bereaksi dan penggunaan ‘motherese’ adalah faktor-faktor kritis dalam perkembangan komunikasi. Model ini juga mengusulkan intervensi strategis berdasarkan teori. Ini termasuk penyertaan latar belakang anak, penggunaan strategi seperti meningkatkan kesabaran untuk memotivasi inisiatif berkomunikasi dan mengambil giliran dan tehnik-tehnik modeling bahasa tertentu, termasuk penggambaran tentang apa yang dilakukan anak, pengulangan kata-kata kunci dan phrase juga perluasan secara sintaksis dan semantik terhadap ungkapan anak.
Bates dan McWhinney (1988) mendeskripsikan model ‘fungsional’. Teori ini menyarankan pengembangan tata bahasa sebagai sebuah fungsi dari penggunaan yang komunikatif dan pengertian di dalam konteks interaksi komunikatif.
Teori ketiga dari tipe pembelajaran ini diusung oleh Nelson (1986). Teori Nelson didasarkan pada dugaan adanya penyimpangan peristiwa mekanisme pembelajaran. Pada bagian interaksi anak dengan yang lain, di saat mereka akan menjadi perhatian utama untuk menggunakan bahasa khusus dan untuk ketidaksebandingan antara keterampilan yang berhubungan dengan tata bahasa sekarang dan model orang dewasa. Sebagaimana tahap perkembangan proses kognitif anak yang dimulai dari perhatian yang selektif, penyimpanan informasi, mendapatkan keterangan dan menguji hypotesis yang kesemuanya diaktifkan untuk mengambil tempat bagi pembelajaran struktur bahasa baru. Sekali lagi ini di dalam konteks dari kebermaknaan interaksi dengan lawan bicara yang baik dan disaat komunikasi itu berlangsung.
Teori keempat adalah yang lebih dikenal yaitu teori Vygotsky (1978) tentang mediasi sosial orang dewasa terhadap pengalaman belajar anak-anak. Teori ini dapat diaplikasikan untuk semua jenis pembelajaran dan tidak hanya terbatas pada pengembangan bahasa. Teori ini menyarankan agar orang dewasa atau teman sebaya yang punya kapabilitas lebih dalam berkomunikasi untuk dilibatkan dalam memberi bantuan kepada anak dalam konteks interaksi sosial. Kegiatan ini akan  memberikan banyak kemudahan bagi anak untuk menguasai sebuah keterampilan khusus dan pada akhirnya mencapai kemandirian (Brunner, 1983)
Pendekatan Interaksi sosial telah memberikan pemahaman yang lebih dalam terhadap pengembangan bahasa pada tahun-tahun awal kehidupan seorang anak. Selanjutnya penelitian dan teori yang berhubungan dengan efek pemakaian pengasuh dan interaksi sosial pada perkembangan anak memiliki implikasi penting untuk intervensi strategi dan desain intervensi awal kurikulum (Rosetti, 2001)

Tahap-Tahap Perkembangan Komunikasi pada Anak
Seorang pendidik anak usia dini sedapat mungkin harus berupaya untuk memahami tahap perkembangan keterampilan berkomunikasi anak secara menyeluruh. Berikut ini akan dijelaskan garis besar pencapaian dalam ketrampilan berkomunikasi sejak lahir sampai usia tiga tahun.

Komunikasi Prelinguistik
Di bulan-bulan pertama kehidupan seorang batita, komunikasi tidak benar-benar disengaja. Namun demikian, mereka bisa difahami dengan mudah oleh orang-orang disekitarnya. Misalnya menangis, tersenyum, mendengkur, melihat bahkan meraih adalah perilaku yang memberikan arti besar bagi pengasuhnya. Istilah yang selalu digunakan untuk mendeskripsikan perilaku komunikatif adalah ‘perlocutionary’ (Bates, 1976). 

Fungsi Prelinguistik
         Perilaku komunikatif yang tak disengaja selalu mengarah sebagai ‘illocutionary’. Halliday (1975) menggambarkan beberapa kategori dari fungsi komunikasi yang di gunakan infant :
-            Fungsi interaksional menunjuk kepada fungsi ‘kamu dan saya’. Dengan menggunakan fungsi ini, infant mencoba untuk memperoleh interaksi dan perhatian dari orang lain disekitarnya.
-            Fungsi instrumental menunjuk kepada fungsi ‘saya ingin’. Disini infant menggunakan perilaku komunikatif untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya dari lingkungannya, seperti makanan atau objek yang menarik perhatiannya.
-    Fungsi regulatory adalah fungsi ‘Seperti yang kukatakan padamu’. Digunakan infant untuk mengontrol perilaku orang lain.
-   Fungsi Personal, di sebut sebagai fungsi ‘aku di sini’. infant memakai fungsi ini untuk mengekspresikan secara sederhana perasaan mereka.
-   Fungsi heuristik, adalah fungsi yang penting karena ia mengatur tahapan dimana infant menggunakan komunikasi untuk memperoleh informasi dari orang dewasa di sekitarnya. Ini mengarah pada fungsi ‘Beritahu aku, mengapa?’
-       Fungsi imajinatif, dipakai infant selama masa prelinguistik dari perkembangan komunikasi. Fungsi imajinatif menunjuk kepada fungsi ‘ayo berpura-pura’. Kegiatan ini misalnya saat infant menirukan suara mobil dan seterusnya.  

Permulaan Bahasa
Sekitar usia satu sampai satu setengah tahun, infant baru mulai benar-benar mempelajari kata-kata pertamanya. Setelah tahapan ini komunikasi menjadi simbolik dan konvensional. Batita terus menggunakan semua fungsi komunikasi, namun bedanya pada tahap ini banyak fungsi-fungsi diekspresikan dengan memakai kata-kata yang mudah dikenal. Menurut Halliday (1975), masa ini komunikasi berada pada tahap fungsi informatif karena sekarang anak dapat berbagi informasi melalui perilaku bahasa secara simbolik.
Disaat yang sama, kemampuan anak juga telah selangkah lebih maju pada tahapan baru perkembangan kognitif yaitu tahap praoperasional. Pada masa ini batita telah mampu merepresentasikan sesuatu secara mental. Ia juga bisa menggunakan perilaku simbolik yang ia temukan serta mampu bercerita tentang apa yang terjadi pada masa yang sudah lewat.
Jadi, perkembangan awal dari gaya bicara konvensional terjadi secara bersamaan dengan peristiwa penting dalam perkembangan kognitif batita. Komunikasi batita tidak lagi hanya terikat pada konteks ‘di sini dan sekarang’. Melainkan mereka secara aktif akan memanfaatkan interaksi sosial dan memanipulasi lingkungannya untuk menemukan keinginan dan kebutuhan dasarnya. Pada fase ini mereka telah memiliki kemampuan untuk berbagi pengalaman dengan orang lain.

Kombinasi Kata
Sekitar usia 20 sampai 24 bulan, biasanya struktur bahasa batita mulai mengkombinasikan dua kata atau lebih ke dalam kalimat (syntaks) dan berbagai bentuk kata (morphology). Seorang Batita sudah bisa diarahkan untuk mengatakan ‘aku mau jus’ dari pada mengatakan hal tersebut dengan memproduksi kata secara sepotong-potong dan tidak beraturan seperti  ‘mau...,jus..,aku...’ dan seterusnya. Banyak sekali literatur dari tahun 1960 – awal 1970 yang mendeskripsikan secara detil tentang evolusi perkembangan tata bahasa anak. Meski tidak semua guru PAUD familiar dengan semua detil spesifik tentang perkembangan tata bahasa anak, tapi guru-guru harus tahu tahapan besar dari perkembangan struktur bahasa seperti yang dideskripsikan paragraf berikut ini:
a.    Bahasa Telegrafik
Saat anak mulai mengkombinasikan dua kata, kebanyakan mereka suka menggunakan kata yang memiliki arti kebanyakan. Tulisan awal tentang kemahiran berbahasa anak, ungkapan-ungkapan ini disebut ‘telegrafik’ karena  anak cenderung menghilangkan kata yang tidak perlu.
b.    Morfem Tata Bahasa
Pada usia dua tahun, anak mulai memasukkan tata bahasa morfem dalam ungkapannya. Walau mereka masih sering menggunakan tata bahasa yang salah, tapi ini merupakan tahap yang jauh lebih baik dibanding saat mereka menggunakan bahasa telegrafik. Di sinilah peran guru untuk memberikan contoh bagaimana cara mengutarakan sesuatu dengan struktur kalimat yang benar.
c.    Kalimat sederhana
Menginjak usia tiga tahun, anak mulai berbicara dalam kalimat-kalimat  sederhana dan mampu menirukan kalimat-kalimat yang dipakai orang dewasa di sekitarnya. Kalimatnya terdiri dari sebuah subjek, predikat termasuk morfem tata bahasa yang diperlukan meskipun masih belum benar. Anak dalam usia ini juga telah mampu membuat kalimat transformasi untuk membuat pertanyaan misalnya ‘lihat bonekaku tidak?’ atau memberikan perintah ‘kembalikan bonekaku!’ serta memberikan pernyataan deklaratif ‘Ini bonekaku’
d.    Kalimat Kompleks
Usia empat tahun, biasanya anak-anak sudah lebih lancar mengkombinasikan kata ke dalam kalimat serta mampu mengungkapkannya dengan lebih jelas. Mereka juga bisa mengungkapkan kalimat yang lebih kompleks, misalnya ‘Aku tidak mau pergi ke toko kalau aku tidak dibelikan mainan’. Bahkan dalam tahap ini mereka bisa menyesuaikan bicaranya dengan keadaan, usia dan status pendengarnya. Saat akan meminta sesuatu yang dimiliki adiknya yang berusia dua tahun, ia akan berkata ‘Berikan aku es krimnya!’. Namun saat berbicara pada yang lebih tua biasanya ia akan merubah struktur bahasanya ‘Boleh tidak aku minta es krim lagi?.
Anak usia 4-5 tahun juga memiliki kapabilitas untuk memulai sebuah percakapan. Ia bisa menunggu giliran bicara, memperluas topik pembicaraan dan mengembalikan  percakapan kepada partner bicaranya. Pada akhirnya anak usia 4-5 tahun dapat berbicara secara naratif -- bercerita yang didahului dengan awal mula cerita, tengah dan penutup. Saat ini anak tidak hanya mampu menggunakan bahasa dalam memanipulasi lingkungannya utuk menemukan interaksi sosial, tapi mereka juga dapat mengekspresikan emosi dan berbagi pengalaman dan ide dengan orang lain. Bahasa dan kognitif sekarang merupakan bagian yang tak terpisahkan dan kedua aspek itu akan bersama-sama berkembang dalam diri anak untuk memecahkan masalah mereka dan mempelajari dunia.

Kondisi yang Diperlukan untuk Mengembangkan Keterampilan Berkomunikasi
        Pertama, keseluruhan sistem sensori haruslah utuh. Pendengaran adalah yang paling penting. Lalu penglihatan dan sensasi oral juga harus berfungsi dengan baik. Sistem sentral ‘nervous’ juga harus lengkap, karena cara bicara dan bahasa tergantung pada kemampuan dan bukan hanya pada menerima informasi dari sistem auditori tapi juga memprosesnya, mengatur dan menyimpannya. Khususnya kepentingan dalam pengembangan bicara misalnya artikulasi yang merupakan sistem penggerak.  Selain itu kemampuan berbicara tak terlepas dari suatu mekanisme yang merupakan koordinasi dari organ-organ bicara seperti pergerakan lidah, bibir, rahang, langit-langit mulut, pangkal tenggorokan. Bagi anak yang yang memiliki kelemahan seperti celebral palsy, berbicara merupakan suatu hal yang sangat sulit, karena sistem sensory dan organ bicara mereka yang mengalami gangguan.
        Kemampuan kognitif juga penting untuk mengembangkan keterampilan berbahasa. Konten bahasa seorang anak akan sangat tergantung pada apa yang bisa di tampilkannya, pengaturan, pemahaman, serta masukan informasi yang ia dapat dari lingkungannya.
        Aspek sosial yang merupakan landasan dalam pertumbuhan afektif juga memberikan kontribusi besar pada perkembangan keterampilan berkomunikasi. Anak yang lemah dalam kemampuan berinteraksi secara sosial  misalnya pada anak autist, tentunya akan berdampak pula pada kemampuan berbahasanya.
        Pada akhirnya lingkungan itu sendiri haruslah responsif pada kebutuhan anak serta pemakaian bahasa yang digunakan pengasuh harus disesuaikan dengan kemampuan anak dalam memproses dan mengolah informasi yang ia dapatkan. Penelitian terkini telah menemukan bahwa beberapa strategi interaksi serta pengasuhan yang responsif dapat mempertinggi perkembangan komunikasi anak di kemudian hari. Strategi interaksi ini sangat penting untuk difahami oleh guru-guru Pendidikan Anak Usia Dini di mana mereka harus mampu menyatukan dan menyiapkan semua komponen penunjang seperti lingkungan yang kondusif serta pengembangan aspek sosial emosional dan mendeteksi berbagai hambatan dalam sistem komunikasi anak pada kegiatan pembelajaran sehari-hari di dalam kelas.

Karakteristik yang Bisa Mengganggu  Perkembangan Bahasa
        Beberapa kondisi di bawah ini dapat menghambat perkembangan bahasa pada anak, antara lain :
-          Kehilangan Pendengaran
Pada dasarnya anak-anak yang kehilangan pendengaran atau lemah pendengarannya dapat diajarkan berbicara dan memahami walau tentunya tingkat kesulitan yang dihadapi akan lebih tinggi. Penggunaan metode  gaya bicara, bahasa isyarat atau kombinasi antara keduanya bisa dijadikan pilihan. Yang jelas pengembangan komunikasi pada anak seperti ini membutuhkan koordinasi dengan  para ahli untuk dapat dievaluasi dan terus dipantau.
-          SLI (Specific Languange Impairment)
Terganggunya sistem auditori dianggap menjadi penyebab terjadinya SLI pada anak-anak.  Untuk mensiasati sistem pembelajaran bagi anak SLI, orang tua dan guru harus menghindari presentasi rangsangan yang terlalu cepat. Berbicara yang terlalu cepat atau lingkungan yang tidak kondusif akan menyulitkan anak dalam memproses informasi.
-          Gangguan Penglihatan
Gangguan penglihatan mulai dari yang ringan sampai pada level terberat yaitu buta total, tentunya membutuhkan penanganan yang khusus, karena anak tidak bisa melihat objek disekitarnya. Frailberg (1977) menawarkan List warning Sign  sebagai informasi yang spesifik dan berguna untuk menolong anak-anak dengan masalah penglihatannya.
-          Gangguan Kognitif
Anak dengan retardasi mental yang cukup parah, memerlukan rancangan pembelajaran yang dibuat secara menyeluruh dan teliti di mana di dalamnya mencantumkan bantuan khusus dalam keterampilan pragmatik seperti kosa kata, tata bahasa dan artikulasi. Membantu mereka untuk mengerti saat bicara sebagaimana saat mengungkapkan apa yang harus dikatakan harus menjadi bagian penting dalam kurikulum.
-          Gangguan Emosional
Penyimpangan dalam perkembangan bahasa atau penolakan untuk berkomunikasi bisa berawal dari gangguan emosi. Di sini diperlukan keahlian dan penanganan yang tepat dari kolaborasi terapis-terapis terkait, termasuk guru dan orang tua untuk mendorong tumbuhnya mental yang sehat.
-          Autism
Kebanyakan penderita autist akan mengalami information-process defisit yang tentunya akan mengganggu perkembangan keterampilan berkomunikasi dan menyebabkan permasalahan prilaku. Hal ini secara lanjut berdampak pada kemampuan bereaksi secara sosial.
-          Sulit Bergaul
Ketidakmampuan atau kesulitan dalam bergaul tentu saja akan membatasi komunikasi seseorang. Karena ia akan jarang memperoleh pengalaman-pengalaman yang dapat membantunya dalam memahami dan memperkaya kosa-kata serta kemampuan verbalnya. 

Karakteristik Yang dapat Menghambat Perkembangan Bicara
        Beberapa gangguan di bawah ini dapat mempengaruhi perkembangan bicara pada anak, yaitu :
-          Struktur organ bicara yang abnormal
-          Masalah Motorik
-          Gangguan suara
-          Gagap

Meningkatkan Keterampilan Konseptual, Bicara dan Bahasa
        Usaha untuk meningkatkan keterampilan bicara, bahasa serta keahlian konseptual, diperlukan beberapa komponen pendukung di lingkungan pembelajaran, yaitu :
A.     Aturan Penting dalam Interaksi Pengasuh dan Anak
Antara lain haruslah memperhatikan hal-hal berikut ini :
-          Interaksi yang Komunikatif
-          Merangsang Percakapan interaktif
-          Tanggapan berdasarkan perilaku anak
-          Memodifikasi interaksi dalam merespon isyarat
-          Menggunakan komunikasi dalam mengajarkan bahasa dan konsep
B.     Strategi Kelas yang Memfasilitasi Komunikasi        
        Beberapa prinsip yang berkaitan dengan perkembangan keterampilan    berkomunikasi :
1. Interaksi merupakan kunci utama dalam pengembangan skill berkomunikasi (Reike dan Lewis,1984).
2.  Komunikasi yang sebenarnya harus di terapkan pada anak, dimana mereka harus memiliki kesempatan untuk memulai sebuah interaksi percakapan, menggunakan bahasa dan perilaku komunikatif lainnya, memberikan pertanyaan dan mendapatkan informasi atau menjawab pertanyaan.
3.      Bahasa akan berkembang dengan sangat baik pada lingkungan yang responsif
Mengacu pada ketiga prinsip di atas, strategi-strategi yang dapat di lakukan di dalam kelas untuk memfasilitasi komunikasi adalah :
-          Dimulai dengan memahami di mana posisi anak
-          Berbicara dengan anak tentang hal-hal yang dekat dengannya
-          Memilih topik pembicaraan yang menarik minat anak
-          Mendengarkan
-          Mengembangkan keterampilan Pragmatik
-          Memperluas Keterampilan
Memfasilitasi Komunikasi dengan Anak Multi-disabilities
Antara lain dengan menggunakan strategi verbal yaitu :
-          Merespon isyarat perilaku anak
-          Menggunakan pengulangan (repetitif) serta skedul yang telah dirancang
Adapun teknik untuk mengajarkan perilaku komunikatif adalah dengan menggunakan strategi ‘output’ atau hasil, yaitu :
-   Mengidentifikasi objek yang paling sering dipilih dan aktivitas yang menimbulkan fungsi komunikatif
-  Mengidentifikasi perilaku yang bisa digunakan secara komunikatif, misalnya saat mempresentasikan sebuah objek yang menarik keingintahuan anak, interupsi ; menghentikan suatu kegiatan yang sedang ditekuni anak untuk mengamati responnya atau aktivitas dadakan  yang dirancang untuk memancing spontanitas anak dalam berbicara ; misalnya menaruh cangkir di atas sepatu dan seterusnya.

Mengajarkan Perilaku Komunikatif : Mengkreasikan kesempatan dan kebutuhan untuk berkomunikasi
Beberapa teknik dideskripsikan secara ringkas oleh Klein, Chen & Haney, 2000 ; Rogers-Warren, 1984 dalam upaya mengajarkan perilaku komunikatif :
1.    Terdapat beberapa fakta bahwa membagi-bagi latihan adalah lebih efektif dari pada latihan intensif yang disebut dengan percobaan berkumpul. Misalnya anak tidak perlu harus membuat permintaan untuk setiap gigitan makanan favoritnya. Cukup empat sampai lima kali kesempatan dalam sehari untuk melatihnya membuat permintaan.
2.   Teknik penting lainnya adalah menyediakan pilihan. Dalam banyak situasi sepanjang hari yang dilalui anak, berikanlah kesempatan untuk membuat pilihan. Pilihan kegiatan, jenis makanan atau mainan di mana orang akan dengan mudah menyatu  ke dalam program kelas.
3.   Jeda dan tunggu sampai anak memulai komunikasi untuk meminta benda atau aktivitas yang diinginkannya adalah tehnik yang paling ampuh untuk mendorong anak berkomunikasi. Tehnik ini mengacu pada prosedur ‘time delay’ (Alpert & Kaiser, 1992)
4.      Untuk beberapa kasus anak yang mengalami multi-disabilities cukup parah khususnya anak-anak yang tak mampu berjalan  membutuhkan perhatian yang lebih besar. Biasanya mereka akan sangat kesulitan untuk memberikan isyarat atau suara dalam mengkomunikasikan kebutuhan mereka. Untuk kasus ini dibutuhkan alat bantu berupa bel atau lonceng listrik.

Menggunakan Teknik ‘Mengajar Milieu (Lingkungan Pergaulan)’ dalam Membentuk Perilaku Komunikatif
Yaitu teknik yang menggunakan lingkungan natural untuk mengajarkan keterampilan berkomunikasi secara spesifik. Menurut Mc-Cormick, 2003 terdapat tiga elemen dasar dalam teknik ‘Mengajar Milieu’, yaitu :
1.    Menata lingkungan dalam suatu cara yang menimbulkan keinginan bagi anak untuk berperilaku komunikatif.
2.    Mengidentifikasi target spesifik dari berperilaku
3.    Mengaplikasikan prosedur mengajar spesifik    
        Beberapa penulis mendeskripsikan urutan dari langkah-langkah pelatihan berkomunikasi yang digunakan pada lingkungan natural. Wulz, Hall dan Klein (1983) memaparkan sebuah urutan dari isyarat dan kata-kata pengingat yang boleh digunakan dalam situasi dan strategi apapun. Langkah-langkah ini mirip dengan cara yang dideskripsikan Roger-warren dan Warren (1984). Teknik serupa juga mengacu pada ‘tehnik mand-model’ (Halle, 1982), ‘Incidental Teaching’ (warren & Kaiser 1986) dan prosedur ‘Time Delay’ (Peck,1985). Penggambaran yang baik dari prosedur-prosedur ini bisa ditemukan dalam Beukelman dan Mirenda (1998), yaitu :
1.  Mengkreasikan kebutuhan atau kesempatan untuk berkomunikasi. Menggunakan berbagai strategi yang telah dideskripsikan diawal dan menggunakan variabel-variabel lingkungan untuk mendorong usaha anak berkomunikasi
2.  Jeda dan tunggu, berikan kesempatan pada anak untuk memulai komunikasi. Terdapat dua strategi yang bisa dipakai, yaitu dengan menatap penuh harap pada anak tanpa mengatakan apapun selama 10-20 menit. Selama menunggu guru bisa berpura-pura melakukan sesuatu yang lain. Prosedur ini bisa digunakan untuk mendorong sebuah perilaku ‘meminta perhatian’ seperti vokalisasi atau pengaktifan augmentatif (peningkatan jumlah) dan alternatif komunikasi (AAC). Pada Awalnya prosedur ini membutuhkan dua orang guru di mana satu guru untuk mengimplementasi penundaan, sementara yang lainnya  mengobservasi ketidakberhasilan usaha anak dan membuat lagi isyarat serta kata-kata pengingat.
3.    Mengadakan suatu isyarat natural. Pada awalnya, mengajar perilaku komunikatif, isyarat dan kata-kata pengingat bisa diadakan untuk merespon  secara tepat maupun tidak tepat selama periode istirahat. Ini sangatlah penting karena bagaimanapun isyarat dan kata-kata pengingat tak bisa diberikan setiap saat, sebab bisa saja anak belajar untuk menunggu lanjutan kata-kata pengingat untuk mendapatkan konsekuensi keinginan berkomunikasi. Kadangkala kesempatan untuk berkomunikasi harus diakhiri. Ini tepat untuk situasi saat memilih mainan atau makanan. Jika menghadapi situasi di mana anak tak kunjung merespon maka isyarat natural dapat digunakan, misalnya dengan menanyakan ‘kamu mau apa?’ atau ‘beritahu saya, apa yang mau kamu lakukan sekarang..’
4.    Penggunaan kata-kata pengingat dan bantuan
Strategi yang digunakan adalah ‘modelling’ atau menjadi model yang bisa dilihat langsung oleh anak agar ia bisa menirukannya. Jika anak tidak merespon maka pengajaran bisa meningkat pada pemberian bantuan secara fisik atau biasa disebut Physical Prompting, misalnya dengan meraih tangan anak untuk menunjuk sebuah objek dan seterusnya.
5.    Menuruti permintaan komunikatif
Saat anak menunjukkan perilaku komunikatifnya, guru dapat mengikuti kemauan anak sambil berupaya memasukkan pesan secara verbal. Mula-mula anak akan secara aktif memproses informasi yang masuk lewat ucapan-ucapan gurunya dan mulai mengenali kebutuhan untuk berkomunikasi. Lalu anak akan memulai atau dibantu untuk memulai interaksi komunikatif. Selanjutnya perilaku komunikatif anak memiliki sebuah pengaruh yang kuat pada lingkungan karena guru menuruti permintaan dan ini akan jadi pengalaman belajarnya. Akhirnya sebuah kesempatan dapat diciptakan oleh guru dalam menggunakan masukan secara verbal untuk memetakan bahasa pada pengalaman anak.

Memfasilitasi Komunikasi Sosial Antara Anak Dengan atau Tanpa Kebutuhan Khusus
Untuk bisa menciptakan komunikasi sosial ini, menurut Odom & Strain (1986) setidaknya ada dua komponen yang harus difahami anak, yaitu :
1.      Anak harus bisa menanggapi permulaan pertemanan dengan cara yang tepat
2.      Anak harus bisa memulai interaksi yang mendapatkan respon positif.
Prosedur yang biasa dipakai adalah modelling (memberi contoh langsung), prompting (menggunakan kata-kata isyarat) serta penguatan. Mula-mula guru berbicara pada sebuah kelompok kecil yang terdiri atas anak berkebutuhan khusus atau yang tidak, tentang perilaku bermain yang tepat, mendemonstrasikan hal baik dan buruk serta mengenalkan suasana bermain yang penuh dengan kerjasama.

Sistem Augmentatif dan Alternatif Komunikasi
Strategi komunikasi nonbicara ini menggunakan isyarat, menunjuk gambar, penggunaan papan komunikasi elektronik dan sistem komputerisasi. Sistem ini dapat meningkatkan keterampilan dan perilaku komunikatif sehingga memberikan alternatif untuk berbicara bagi anak-anak yang tidak memiliki kemampuan berkomunikasi secara verbal. Sistem ini juga dikenal sebagai AAC.
Langkah-langkah dalam Pengembangan sistem AAC (Baumgart, Johnson & Helmstetter, 1990 ; Beukelman & Mirenda, 1998 ; Reichle, York & Sigafoos, 1991)  yaitu :
1.      Menetapkan kebutuhan komunikatif anak dan kesempatan
2.      Menetapkan daftar lagu, judul-judul sandiwara komunikatif untuk anak
3.      Apa saja rintangan dalam menyukseskan komunikasi?
4.      Menentukan respon penandaan terbaik yang akan digunakan
5.      Menetapkan ‘sistem simbol’ terbaik
6.      Mendesain pertunjukan
7.      Mendesain Langkah-Langkah Pelatihan 

Strategi kelas yang memfasilitasi augmentatif skill berkomunikasi
Beberapa strategi yang bisa digunakan adalah sebagai berikut :
1.      Menggunakan mainan yang memakai bateray
2.      Menggunakan Komputer
3.      Menggunakan gambar representatif dan simbol
4.      Strategi pemulai percakapan

Menggunakan Sistem Komunikasi Penukaran Gambar (PECS)
Sistem ini digagas oleh Frost & Bondy (1994) dan sangat populer digunakan dalam memberikan terapi bicara pada anak autist. PECS menggunakan tehnik perilaku untuk mengajar anak melalui gambar yang diharapkan dapat membantu anak mendapatkan objek atau aktivitas yang diiginkannya, atau bahkan membuat komentar terhadap gambar tersebut. Sistem ini dimulai dengan sebuah observasi untuk menentukan benda atau aktivitas apa yang paling diinginkan anak. Saat hal itu telah berhasil diidentifikasi, sebuah foto atau gambaran garis hitam-putih ditempatkan pada sebuah kartu atau binder dengan velcro.
        Tidak seperti sistem AAC, pada sistem gambar anak tidaklah menunjuk. Anak cukup diajarkan untuk memindahkan sebuah gambar yang menempel pada velcro dari dalam buku  ke  binder, mendekati orang lain dan memberikan gambar tersebut padanya. Orang yang menerima gambar akan menanggapi dengan bahasa yang tepat lalu memberikan si anak gambar yang diinginkannya. Perubahan signifikan dari sistem PECS adalah bahwa itu menimbulkan interaksi sosial untuk mensukseskan komunikasi.

Berinteraksi dengan Anak yang Kehilangan Pendengaran
Pada Sekolah yang mempunyai siswa dengan masalah pendengaran haruslah melakukan kolaborasi dengan para ahli di bidang serupa, antara lain audiologist (Jika anak menggunakan alat bantu pendengaran), Pelatih Pathologist Bicara atau guru khusus untuk anak tuli.
Dua model pembelajaran yang biasanya diterapkan untuk anak yang kehilangan pendengaran, yaitu :
1.      Model Pendekatan Bicara
Model ini menekankan pada kemampuan mengeluarkan ucapan yang bisa difahami serta menangkap makna bicara orang lain. Dalam pendekatan ini digunakan alat bantu pendengaran serta input visual berupa gerak bibir atau tangan.
Ling (1984) menganjurkan sebuah pendekatan ‘unisensory’ yang hanya mengandalkan isyarat-isyarat auditory dalam upaya untuk memaksimalkan kemampuan anak menggunakan informasi auditory dan ketertinggalan pendengarannya.
2.      Model Pendekatan Komunikasi Manual
Model ini disokong dengan kuat oleh anggota Komunitas Orang Tuli. Penggagas Model pembelajaran ini percaya bahwa komunikasi manual adalah bahasa yang paling mudah dan alami bagi orang dengan masalah pendengaran. Namun bagi anak-anak, model pendekatan komunikasi manual ini dirasakan berjalan sangat lambat dan membosankan. (Hunt & Marshal, 1984)
Masih banyak lagi lembaga-lembaga yang bergerak di bidang bahasa isyarat seperti American Sign Language (ASL), Signing Essential English (SEE I), Signing Exact English (SEE II). 

Saran dalam Berinteraksi dengan Anak yang Kehilangan Pendengaran
1.    Dalam pembelajaran, guru bisa bertukar informasi dengan orang tua tentang isyarat-isyarat yang biasa di pakai di rumah untuk mengajari anaknya. Lalu guru dapat mencoba menerapkan isyarat baru tersebut di kelasnya.
2.    Mengajarkan isyarat untuk kata kunci seperti ‘tolong’ atau ‘semua sudah selesai’ pada anak dalam program
3.    Pastikan penerangan dalam ruang belajar baik sehingga anak dapat jelas melihat isyarat yang paling halus sekalipun seperti gerak bibir
4.    Sesering mungkin libatkan orang dewasa atau anak yang lebih tua dengan kondisi yang sama. Ini penting bagi anak-anak untuk mengobservasi model yang juga menggunakan alat bantu pendengaran atau menggunakan bahasa isyarat. Mereka dapat bercerita, bernyayi atau memberikan bantuan sederhana dalam rutinitas harian.
5.    Sediakan buku-buku yang memiliki tanda untuk kata-kata kunci dalam cerita
6.    Saat anak kesulitan dalam memahami, ulangi kalimatnya atau ucapkan sedikit-sedikit dengan cara yang berbeda. Lalu tambahkan isyarat visual misalnya gerak tubuh, ekspresi wajah atau menunjuk benda dan gambar.

Memfasilitasi Kemampuan Anak Untuk Membaca Gerak Bibir dan Membandingkan Bicara
1.      Jangan berbicara terlalu cepat. Bicaralah sedikit-sedikit, tapi mesti berhati-hati agar ritme dan pola bicara tetap normal dan tidak menyimpang.
2.      Jangan terlalu melebih-lebihkan gerak bibir atau jeda untuk setiap kata.
3.   Berdiri atau duduklah dengan tenang karena sulit bagi anak untuk fokus pada target yang bergerak
4.  Jangan bertanya ‘apakah kamu mengerti?’ karena anak akan selalu mengatakan ya tanpa memperhatikan. Cukup dengan menemukan seberapa dalam pengertian yang didapat dari pemberian pertanyaan atau arahan dan observasi respon anak.
5.      Kalau anak masih tak mengerti, ulangi terus kalimat dan katakan dengan cara yang berbeda.
6.      Waspada terhadap ketertinggalan pendengaran anak. Bantu mereka untuk mempelajari berbagai bunyi dalam lingkungan dengan menunjukkan perhatian untuk mereka.

Alat Bantu Pendengaran
Pastikan bahwa anak konsisten dalam memakai alat bantu pendengarannya di tengah dan ikut sertakan keluarga untuk melakukan hal yang sama di rumah. Lalu konsultasikan dengan audiologist untuk menetukan tipe suara yang mudah diterima anak.

Cochlear Implants
Yaitu sejenis alat elektronik yang dimasukkan melalui operasi ke dalam telinga untuk membantu pendengaran. Alat ini terdiri atas empat komponen yaitu mikrofon, sebuah signal processor, penerima dan elektroda. Ditemukan oleh Miyamoto (1985).

Anak dengan Masalah Pendengaran Sementara
Yaitu anak yang mengalami masalah pendengaran karena sedang menderita sakit, misalnya flu yang lama sembuhnya, penyumbatan dalam telinga dan sebagainya. Guru dan orang tua haruslah peka terhadap perubahan yang terjadi secara tiba-tiba dengan perilaku anak. Seringkali orang tua dan guru tidak menyadari kalau permasalahan yang timbul karena anak sedang mengalami sakit yang menyebabkannya sulit mendengar.

Berinteraksi dengan Anak yang Memiliki Masalah Penglihatan
Sama halnya dengan penanganan anak dengan masalah pendengaran, pada kasus anak yang memiliki gangguan penglihatan juga perlu ada kolaborasi dengan para ahli yang berkaitan dibidang ini untuk memastikan bahwa adaptasi optimal telah dibuat. Adalah bijaksana untuk memasukkan orientasi dan mobilitas sebaik para ahli dalam mengajar anak yang lemah penglihatannya.  Beberapa saran di bawah ini baik dilakukan :
1.      Selama vokalisasi, sentuh anak untuk memberitahunya bahwa ada yang mendengarkannya.
2. Gunakan auditory dan isyarat untuk menolong anak mengantisipasi apa yang akan terjadi berikutnya.
3.   Katakan tentang apa yang sedang guru dan anak lakukan seperti yang terjadi. Gunakan kata kunci yang sesuai tahap pemikiran mereka.
4.  Pastikan anak menggunakan visi untuk memaksimalkan segala kemungkinan perluasan lalu kombinasikan dengan melihat, menyentuh dan berbicara.
5.      Pastikan bahwa anak yang memiliki kelemahan visual ‘melihat’ dan merasakan setiap bagian dari objek dan memahami hubungan antara bagian dan keseluruhan.
6.    Hubungan spatial (ruang) sulit untuk didemonstrasikan. Tempatkan anak diberbagai posisi dan dorong ia untuk menyentuh dan memanipulasi. Dapat juga digunakan mainan untuk mendemonstrasikan konsep misalnya on-off, atas-bawah, dalam-luar.
7.   Gunakan bahasa dan kemampuan auditory untuk memfasilitasi awal pemahaman anak dari pengarahan tentang jarak. Misalnya dengan mengatakan ‘saya ada di seberang ruangan dan jauh’ ‘Sekarang saya sudah mendekat’.
8.      Hindarilah komunikasi yang terlalu cepat
9.      Ajarkan juga anak untuk melokalisasikan suara dan mengenal sumbernya, pengarahan dan jarak.

Berinteraksi Dengan Anak Autist
Dalam menentukan tujuan intervensi komunikasi dan strategi bagi anak autist, para profesional harus mempertimbangkan kemungkinan akan kebutuhan untuk mengatur masalah atau rasa defensif (perasaan untuk membela diri) dan sensitivitas auditori. Bantuan haruslah ditemukan dari para terapis fisik untuk mendesain strategi untuk mengurangi dan menata rasa sensitif. Hal ini harus dilakukan dengan orang tua untuk mengidentifikasi dan memahami keengganan anak serta sensitivitas terhadap bunyi.
Tujuan utama intervensi berhubungan dengan interaksi yang akan membantu anak mengembangkan keterampilan interaksi sosial awal yang sangat penting untuk pengembangan bahasa berikutnya. Misalnya menunggu giliran, permulaan sosialisasi dan pengembangan dari instrumen dan fungsi regulasi komunikasi. Ini dilakukan dengan menggunakan gerak tubuh juga vokalisasi untuk mengekspresikan keinginan dan kebutuhan untuk mempengaruhi perilaku orang lain (Prizant, Wetherby & Rydell, 2000).
Penggunaan model pendekatan tradisional untuk membahasakan instruksi dikarenakan munculnya peniruan yang menyebabkan masalah. Anak dengan masalah autist seringkali mengulang-ulang dan meniru gaya bicara orang lain. Meskipun ia akan merespon saat guru memberi isyarat dengan menyebutkan nama objek tertentu, namun ini sangatlah sulit untuk difahami secara spontan.
Anak autis biasanya ditangani secara visual misalnya penggunaan grafik informasi yang sebenarnya, akan jauh lebih mudah daripada auditori atau informasi verbal. Salah satu pendekatan yang cukup sukses adalah dengan sistem PECS.

Berinteraksi dengan Anak yang Memiliki Perbedaan Bahasa
Anak dengan latar belakang bahasa yang berbeda harus didorong untuk mengembangkan kedua bahasa yaitu bahasanya sendiri lalu bahasa kedua yang ia gunakan.  Guru yang mengenalkan bahasa kedua harus melibatkan anak dalam interaksi sosial untuk berbahasa namun juga harus bisa memahami dan menghormati budaya dan bahasa pertamanya misanya dari sisi dialek, ekspresi dan sebagainya.

Konsultasi kolaboratif dengan Spesialist Bicara dan Bahasa
Meningkatkan perkembangan keterampilan berkomunikasi pada anak-anak, membutuhkan pendekatan sebuah kerja team. Kontribusi besar akan dapat dibuat oleh para spesialist bicara dan bahasa yaitu kontribusi penting di bidang penilaian, dan penggunaan kedua ukuran formal dan informal.
Model Konsultasi kolaboratif juga menjadi sangat penting untuk mensukseskan upaya yang melibatkan semua tipe anak dari berbagai lingkungan pendidikan. Kolaborasi harus mengambil tempat antara  pendidik khusus dan guru kelas agar proses pembelajaran bisa berjalan lancar.

Kesimpulan
Komunikasi, bahasa dan bicara adalah keterampilan dengan kompleksitas yang tinggi merupakan unsur pengembang pada sebuah fungsi yang mendasari banyak proses termasuk kognitif, motorik halus dan interaksi sosial. Pendidik PAUD harus membina kerjasama dengan orang tua agar pengaruh yang terjadi akan lebih besar. Untuk anak yang mengalami multi-dissabilities masukan bahasa haruslah sesuai dengan tingkatan persepsi dan kognitif anak.
Dengan perencanaan yang teliti, strategi yang memfasilitasi komunikasi bisa disatukan ke dalam semua kegiatan kelas. Lebih jauh lagi, memonitor perilaku komunikatif anak dalam berbagai konteks bisa mendapatkan kemajuan penilaian yang sangat bermakna.