BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu merupakan bagian dari
pengetahuan yang di ketahui oleh manusia disamping berbagai pengetahuan
lainnya. Pada hakekatnya pengetahuan
merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam
kehidupan. Ilmu-ilmu yang dimiliki oleh
manusia berhubungan satu sama lain, dan tolak ukur keterkaitan ini memiliki
derajat yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan asas dan pondasi bagi
ilmu-ilmu lain, yakni nilai dan validitas ilmu-ilmu lain bergantung kepada ilmu
tertentu, dan dari sisi ini, ilmu tertentu ini dikategorikan sebagai ilmu dan
pengetahuan dasar. Sebagai contoh, dasar dari semua ilmu empirik adalah prinsip
kausalitas dan kaidah ini menjadi pokok bahasan dalam filsafat, dengan
demikian, filsafat merupakan dasar dan pijakan bagi ilmu-ilmu empirik. Begitu
pula, ilmu logika yang merupakan alat berpikir manusia dan ilmu yang berkaitan
dengan cara berpikir yang benar, diletakkan sebagai pendahuluan dalam filsafat
dan setiap ilmu-ilmu lain, maka dari itu ia bisa ditempatkan sebagai dasar dan
asas bagi seluruh pengetahuan manusia. Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri
yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa
(aksiologi). Ketiga landasan ini saling berkaitan, jadi ontologi ilmu terkait
dengan epistemologi ilmu, dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi.
Di tinjau dari pengetahuan,
epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha
kita memperoleh pengetahuan. epistemologi
selalu menjadi bahan yang menarik untuk
dikaji, karena disinilah dasar-dasar pengetahuan maupun teori pengetahuan yang
diperoleh manusia menjadi bahan pijakan. Konsep-konsep ilmu pengetahuan yang
berkembang pesat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang ditimbulkannya
dapat dilacak akarnya pada struktur pengetahuan yang membentuknya. Dari
epistemologi, juga filsafat dalam hal ini filsafat modern terpecah berbagai aliran yang cukup banyak,
seperti rasionalisme pragmatisme, positivisme, maupun eksistensialisme. Namun, epistemologi (teori
pengetahuan), karena mengkaji seluruh tolak ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk
ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, sehingga menjadikan
epistemology sebagai dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan. Walaupun
ilmu logika dalam beberapa bagian memiliki kesamaan dengan epistemologi, akan
tetapi, ilmu logika merupakan ilmu tentang metode berpikir dan berargumentasi
yang benar, diletakkan setelah epistemologi.
Latar belakang hadirnya pembahasan
epistemologi itu adalah karena para pemikir melihat bahwa panca indra lahir
manusia yang merupakan satu-satunya alat penghubung manusia dengan realitas
eksternal terkadang atau senantiasa melahirkan banyak kesalahan dan kekeliruan
dalam menangkap objek luar, dengan demikian, sebagian pemikir tidak menganggap
valid lagi indra lahir itu dan berupaya membangun struktur pengindraan valid
yang rasional. Namun pada sisi lain, para pemikir sendiri berbeda pendapat
dalam banyak persoalan mengenai akal dan rasionalitas, dan keberadaan argumentasi
akal yang saling kontradiksi dalam masalah-masalah pemikiran kemudian berefek
pada kelahiran aliran Sophisme yang mengingkari validitas akal dan menolak
secara mutlak segala bentuk eksistensi eksternal. Dengan alasan itu, persoalan
epistemologi sangat dipandang serius.
B.
Tujuan
Tujuan
khusus pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui metode-metode apa sajakah
yang dapat digunakan untuk memperoleh pengetahuan serta apa sajakah yang
menjadi teori atau landasan berpikirnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Epistemologi
Epistemologi berasal dari bahasa
yunani kuno, Episteme yang berarti
pengetahuan, dan Logos yang berarti teori. Menurut Uyoh (2008) Epistemologi
merupakan cabang filsafat yang membahas atau mengkaji tentang asal, struktur,
metode serta keabsahan pengetahuan. Menurut Langeveld (1961) dalam pengantar
filsafat pendidikan mengemukakan bahwa epistemologi membicarakan hakikat
pengetahuan unsur-unsur dan susunan berbagai jenis pengetahuan pangkal
tumpuannya yang fundamental, metode-metode dan batasan-batasannya. Sedangkan menurut
Jujun (2010) mengemukakan bahwa Epistemologi adalah landasan kefilsafatan yang
membahas prosedur untuk memperoleh pengetahuan. Dengan demikian, definisi
epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas
tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolak ukur, keabsahan, validitas, dan
kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia.
B.
Pemerolehan Pengetahuan
Sejak dulu hingga sekarang manusia
selalu berusaha untuk menaklukan alam. Berbagai cara telah ditempuh untuk
meramalkan dan mengontrol gejala alam. Berikut adalah beberapa cara yang
dilakukan manusia untuk memperoleh pengetahuan:
a.
Seni halus dan seni terapan
Seni merupakan
bagian lain dari pengetahuan yang mencoba mendeskripsikan gejala dengan sepenuh maknanya. Seni
mencoba mengungkapkan objek penelaahan sehingga bermakna bagi penciptanya dan
meraka yang meresapinya. Seni merupakan produk dari daya inspirasi dan daya cipta manusia
yang bebas dari berbagai cengkraman dan belenggu ikatan. Model pengungkapan
dalam seni bersifat penuh dan rumit namun tidak sistematis. Model tersebut
tidak bisa digunakan untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam.
Seni terbagi
menjadi fine art (seni halus) dan applied art(seni terapan). Seni
terapan mempunyai kegunaan langsung dalam kehidupan badani sehari-hari. Seni
hakikatnya mempuyai dua ciri yang pertama adalah deskriptif dan fenomenologis,
dan yang kedua adalah ruang lingkupnya terbatas. Deskriptif di sini maksudnya
seni menggambarkan objek namun tidak mengembangkan konsep yang bersifat
teoritis,
seperti obat-obatan herbal dari cina yang diracik berdasarkan pengalaman secara
turun temurun dan dipercaya kemanjurannya. Sedangkan seni halus (fine art)
merupakan sesuatu yang diciptakan untuk kebutuhan rohani/spiritual manusia
seperti lukisan dan taman yang secara tidak langsung dapat kita rasakan
manfaatnya untuk kebahagiaan rohani.
b.
Akal
Sehat dan Metode Coba-coba
Ilmu mencoba mencarikan penjelasan mengenai alam menjadi kesimpulan yang bersifat
umum dan impersonal. Sedangkan seni tetap bersifat individual dan personal
dengan memusatkan perhatiannya pada pengalaman hidup perorangan.
Ketidakmungkinan ilmu mengembangkan konsep teoritis yang menyebabkan
mengapa sebuah peradaban dengan seni terapan yang tinggi tidak mampu
mengembangkan diri dalam bidang keilmuwan. Karena konsep teoretislah yang dijadikan tumpuan untuk
mengembangkan pengetahuan
ilmiah. Ilmu juga kurang berkembang di kebudayaan timur yang karena aspek
kultural lebih mengembangkan berpikir etis dan kearifan dari pada cara berpikir
ilmiah.
Akal sehat (common sense) didefinisikan sebagai pengetahuan yang
diperoleh lewat pengalaman tidak sengaja dan bersifat sporadis dan kebetulan.
Menurut Titus karakteristik akal sehat adalah sbb:
1. Karena landasannya yang berakar pada adat dan tradisi maka
akal sehat cenderung
bersifat kebiasaan dan pengulangan.
2. Karena landasannya berakar kurang kuat
maka akal sehat cenderung kabur dan sama-samar.
3. Karena kesimpulan yang ditariknya sering
berdasarkan asumsi yang tidak dikaji lebih lanjut maka akal sehat cenderung mejadi pengetahuan yang tidak
teruji.
c.
Rasionalisme dan Empirisme
Pada dasarnya rasionalisme bersifat
majemuk dengan berbagai kerangka pemikiran yang dibangun secara deduktif
disekitar objek pemikiran tertentu. Seiring tumbuhnya rasionalisme, tradisi yang bersifat dogmatik mulai
ditinggalkan. Rasionalisme membangun pemikiran dengan cara deduktif di sekitar
objek pemikiran tertentu. Rasionalisme dengan pemikiran deduktifnya sering
menghasilkan kesimpulan yang benar walau tidak selalu sesuai dengan pengalaman. Aliran ini
berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah
rasio (akal). Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang
didapatkan oleh akal. Rene Descartes membedakan tiga ide yang ada dalam diri
manusia yaitu, (1) innate ideas adalah
ide bawaan yang dibawa oleh manusia sejak lahir, (2) adventitious ideas adalah
ide-ide yang berasal dari luar diri manusia, dan (3) factitious ideas adalah ide-ide yang dihasilkan oleh pikiran itu
sendiri (Surajiyo, 2010:33).
Selanjutnya
berkembanglah aliran empirisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan yang benar itu didapatkan dari pengalaman.
Sehingga kemudian
berkembanglah
cara berpikir yang menjauhi spekulasi teoretis dan metafisis. Namun cara berpikir
empirisme ini pun tidak luput dari kelemahan, karena metode induktif dengan
statistikapun kurang bisa menunjukkan hubungan kausalitas. Aliran ini berpendapat, bahwa
empiris atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan, baik pengalaman
yang batiniah ataupun lahiriah. Akal bukan jadi sumber pengetahuan tetapi akal
mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman
(Surajiyo, 2010:33).
Ilmu mencoba menafsirkan gejala alam
dengan mencoba mencari penjelasan ini terutama penjelasan yang bersifat
mendasar dan postulasional, maka ilmu tidak bisa melepaskan diri dari
penafsiran yang bersifat rasional dan metafisis.
d.
Metode eksperimen
Menurut Bertrand Russel ilmu mempunyai dua peranan yaitu sebagai metafisika
dan sebagai akal sehat yang terdidik. Untuk menjembatani rasionalisme dan pembuktian empiris maka
dikembangkanlah sebuah metode eksperimen. Metode eksperimen mulanya
dikembangkan oleh ilmuan Muslim pada abad keemasan Islam. Semangat mencari
kebenaran ilmuwan Yunani yang hampir hilang pada masa Romawi dihidupkan kembadi
dalam kebudayaan Islam.
Eksperimen ini dimulai oleh
ahli-ahli kimia yang pada mulanya didorong oleh tujuan untuk mendapatkan obat
awet muda dan rumus membuat emas dari logam. Menurut M. Nazir (2002) Eksperimen
adalah observasi di bawah kondisi buatan (artificial
condition) dimana kondisi tersebut dibuat dan diatur oleh si peneliti. Penelitian
ekperimental adalah penelitian yang dilakukan dengan mengadakan manipulasi
terhadap objek penelitian serta adanya kontrol. Metode eksperimen sering sekali
dilakukan dalam penelitian ilmu-ilmu eksakta. Walaupun demikian, penggunaan
metode eksperimen di dalam ilmu-ilmu sosial, akhir-akhir ini semakin banyak
peminatnya.
Tujuan
dari penelitian eksperimen adalah untuk menyelidiki ada tidaknya hubungan
sebab-akibat serta seberapa besar hubungan sebab-akibat tersebut dengan cara
memberikan perlakuan-perlakuan tertentu pada beberapa kelompok eksperimental
dan menyediakan kontrol untuk perbandingan. Percobaan-percobaan dilakukan untuk
menguji hipotesis serta untuk menemukan hubungan-hubungan kausal yang baru.
Dengan Metode
eksperimen dapat menguji berbagai penjelasan teoretis apakah sesuai dengan kenyataan
empiris atau tidak. Dengan demikian mulailah pertemuan antara rasionalisme dan
empirisme yang berkembang menjadi metode ilmiah yang menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif.
Pionir yang mengembangkan cara berpikir deduktif-induktif ini adalah Galileo
dan Newton.
e.
Metode
Ilmiah
Metode ilmiah adalah cara yang
dilakukan ilmuan dalam menyusun pengetahuan yang benar. Menurut Jujun (2010)
metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut
ilmu. Sedangkan menurut Almack dalam (M.
Nazir 2002) metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap
penemuan, pengesahan, dan penjelasan kebenaran. Menurut Ostle dalam (M. Nazir
2002) berpendapat bahwa metode ilmiah adalah pengejaran terhadap sesuatu untuk
memperoleh interelasi. Alur berpikir yang tercakup ke dalam metode ilmiah dapat
dijabarkan menjadi beberapa langkah yang mencerminkan tahapan ilmiah.
Keangka berpikir ilmiah yang
berintikan proses logico hypothetico
terdiri dari beberapa langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Perumusan masalah merupakan pertanyaan mengenai objek
empiris yang jelas batasannya serta dapat diidentifikasi faktor-faktor yang
terkait di dalamnya.
2.
Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang
merupakan argumentasi yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling
terkait dan membentuk konstelasi permasalahan.
3.
Perumusan hipotesis merupakan jawaban sementara atau dugaan
terhadap pertanyaan yang diajukan.
4.
Pengujian hipotesis merupakan pengumpulan fakta-fakta yang
relevan dengan hipotesis yang diajukan.
5.
Penarikan kesimpulan merupakan penilaian apakah sebuah
hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima.
Menurut Jujun (2010) langkah-langkah
di atas harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah. Hubungan
antara langkah yang satu dengan langkah yang lainnya tidak terikat secara
statis melainkan bersifat dinamis dengan proses pengkajian ilmiah yang tidak
semata mengandalkan penalaran melainkan juga imajinasi dan kreativitas.
C.
Struktur Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan yang diproses melalui
metode ilmiah dinamakan pengetahuan ilmiah. Berbagai disiplin keilmuan mencoba
memperoleh dan menyusun pengetahuan ilmiah ini sesuai dengan bidangnya
masing-masing.
a.
Teori
Ilmiah
Teori ilmiah merupakan pengetahuan
ilmiah yang mencakup deskripsi penjelasan mengenai suatu objek tertentu. Teori
ini biasanya berada di bawah payung dari sebuah disiplin ilmu tertentu. Secara
substantif teori ilmiah terdiri dari sub teori, hukum, prinsip, asas dan
bentuk-bentuk lainnya. Secara semantik
teori ilmiah melambangkan abstraksi pemikiran tentang suatu objek dalam
berbagai bentuk substantif tersebut. Tujuan akhir dari disiplin keilmuan ini adalah
mengembangkan sebuah teori keilmuan yang bersifat umum, utuh, dan koheren.
Teori umumnya bersifat utuh dan konsisten.
b.
Teori
Ilmu Sosial
Dalam ilmu sosial pada umumnya
pengembangan hukum-hukum ilmiah sukar sekali dilakukan dan pada hakikatnya
telah ditinggalkan untuk tujuan
meramalkan, ilmu sosial mempergunakan metode proyeksi, pendekatan struktural,
analisis kelembagaan atau tahap-tahap perkembangan. Disamping hukum teori
keilmuan juga mengenal teori pernyataan yang disebut prinsip. Prinsip juga
dapat diartikan sebagai pernyataan yang berlaku secara umum bagi sekelompok
gejala-gejala tertentu, yang mampu menjelaskan kejadian yang terjadi.
c.
Teori
Nomotetis dan Genetis
Teori nomotetis merupakan teori yang
mampu melaksanakan keempat fungsi keilmuan secara lengkap yang terdiri dari
mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksikan dan mengontrol gejala alam.
Sedangkan teori genetis merupakan teori yang bersifat mendeskripsikan dan
menjelaskan namun tidak memprediksikan dan mengontrol. Teori genetis juga di
kembangkan dalam ilmu-ilmu lain, contohnya dalam ilmu kedokteran yang
mendeskripsikan dan menjelaskan substansi dan fungsi organ tubuh manusia.
d.
Konsep dan Penalaran
Penalaran adalah proses berpikir yang
bertolak dari pengamatan indera (pengamatan empirik) yang menghasilkan
sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan
terbentuk proposisi - proposisi yang sejenis,
berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang
menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses
inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran,
proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens)
dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi.
Hubungan antara premis dan konklusi disebut konsekuensi.
Ada
dua jenis metode dalam menalar yaitu induktif dan deduktif.
Metode berpikir induktif adalah metode
yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Hukum
yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang
belum diteliti. Generalisasi adalah
bentuk dari metode berpikir induktif. Sedangkan metode berpikir deduktif adalah
metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk
seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus. Contoh: Masyarakat
Indonesia konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah kesuksesan
(khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang
menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi sosial dan penanda status
sosial.
e.
Konsep dan simbol dalam penalaran
Penalaran
juga merupakan aktivitas pikiran yang abstrak, untuk mewujudkannya diperlukan simbol. Simbol atau lambang yang digunakan
dalam penalaran berbentuk bahasa, sehingga wujud penalaran akan
berupa argumen. Kesimpulannya adalah pernyataan
atau konsep merupakan abstrak dengan simbol berupa kata,
sedangkan untuk proposisi simbol yang digunakan adalah kalimat (kalimat
berita) dan penalaran menggunakan simbol berupa argumen. Argumenlah yang dapat
menentukan kebenaran konklusi dari premis.
Berdasarkan
paparan di atas jelas bahwa tiga bentuk pemikiran manusia adalah aktivitas berpikir yang
saling berkait. Tidak ada ada proposisi tanpa pengertian dan tidak akan ada
penalaran tanpa proposisi. Bersama - sama dengan terbentuknya pengertian
perluasannya akan terbentuk pula proposisi dan dari proposisi akan digunakan
sebagai premis bagi penalaran. Atau dapat juga dikatakan untuk menalar
dibutuhkan proposisi sedangkan proposisi merupakan hasil dari rangkaian
pengertian.
f.
Syarat-syarat kebenaran
dalam penalaran
Jika
seseorang melakukan penalaran, maksudnya tentu adalah untuk menemukan kebenaran. Kebenaran dapat
dicapai jika syarat - syarat dalam menalar dapat dipenuhi.
·
Suatu penalaran
bertolak dari pengetahuan yang
sudah dimiliki seseorang akan sesuatu yang memang benar atau sesuatu yang
memang salah.
·
Dalam penalaran,
pengetahuan yang dijadikan dasar konklusi adalah premis. Jadi semua premis
harus benar. Benar di sini harus meliputi sesuatu yang benar secara formal maupun material.
Formal berarti penalaran memiliki bentuk yang tepat, diturunkan dari aturan -
aturan berpikir yang tepat sedangkan material berarti isi atau bahan yang
dijadikan sebagai premis tepat.
a.
Hubungan Epistemologi dengan Ilmu Logika
Ilmu
logika adalah suatu ilmu yang mengajarkan tentang metode berpikir benar, yakni
metode yang digunakan oleh akal untuk menyelami dan memahami realitas eksternal
sebagaimana adanya dalam penggambaran dan pembenaran. Dengan memperhatikan definisi
ini, bisa dikatakan bahwa epistemologi jika dikaitkan dengan ilmu logika
dikategorikan sebagai pendahuluan dan mukadimah, karena apabila kemampuan dan
validitas akal belum dikaji dan ditegaskan, maka mustahil kita membahas tentang
metode akal untuk mengungkap suatu hakikat dan bahkan metode-metode yang
ditetapkan oleh ilmu logika masih perlu dipertanyakan dan rekonstruksi,
walhasil masih menjadi hal yang diragukan.
b.
Hubungan epistemologi dengan Filsafat.
Pengertian umum filsafat adalah
pengenalan terhadap eksistensi (ontologi), realitas eksternal, dan hakikat
keberadaan. Sementara filsafat dalam pengertian khusus (metafisika) adalah
membahas kaidah-kaidah umum tentang eksistensi. Dalam dua pengertian tersebut,
telah diasumsikan mengenai kemampuan, kodrat, dan validitas akal dalam memahami
hakikat dan realitas eksternal. Jadi, epistemologi dan ilmu logika merupakan
mukadimah bagi filsafat.
c.
Hubungan epistemologi dengan Teologi dan ilmu tafsir
Ilmu kalam (teologi) ialah suatu
ilmu yang menjabarkan proposisi-proposisi teks suci agama dan penyusunan
argumentasi demi mempertahankan peran dan posisi agama. Ilmu tafsir adalah
suatu ilmu yang berhubungan dengan metode penafsiran kitab suci. Jadi,
epistemologi berperan sentral sebagai alat penting bagi kedua ilmu tersebut,
khususnya pembahasan yang terkait dengan kontradiksi ilmu dan agama, atau akal
dan agama, atau pengkajian seputar pluralisme, karena akar pembahasan ini
terkait langsung dengan pembahasan epistemologi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Epistemologi adalah landasan kefilsafatan yang membahas
prosedur untuk memperoleh pengetahuan. Dengan demikian, definisi epistemologi
adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan,
dasar dan pondasi, alat, tolak ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu,
makrifat, dan pengetahuan manusia. Beberapa cara yang dilakukan manusia untuk
memperoleh pengetahuan diantara lain adalah sebagai berikut:
1.
Seni Halus dan Terapan
2.
Akal Sehat dan Metode Coba-coba
3.
Rasionalisme dan Empirisme
4.
Metode Eksperimen
5.
Metode Ilmiah
Adapun
beberapa landasan yang menjadi acuan teori pengetahuan diantaranya adalah:
1.
Teori Ilmiah
2.
Teori Ilmu Sosial
3.
Teori Nomotetis dan Genetis
4.
Konsep dan Penalaran
Berikut
adalah contoh keterkaitan beberapa Ilmu lain dengan epistemologi:
1.
Hubungan Epistemologi dengan Ilmu Logika
2.
Hubungan epistemologi dengan Filsafat
3.
Hubungan epistemologi dengan Teologi dan ilmu tafsir
Sadulloh Uyoh, Pengantar
Filsafat Pendidikan, Bandung: ALFABETA, 2009.
Suriasumantri Jujun S, Menguak Cakrawala Keilmuan (Landasan Filosofis Penulisan Tesis dan
Disertasi), Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar