Senin, 13 Februari 2012

Pendekatan Kognitivisme dalam Pendidikan dan Pembelajaran

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

Pendidikan diartikan secara sederhana sebagai usaha manusia untuk membina kepribadian sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat, kebudayaan dan agama. Berikutnya pendidikan juga diartikan sebagai usaha sadar yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih baik secara mental maupun spritual.[1] Istilah pendidikan dewasa ini telah banyak mengalami perkembangan baik secara teoritis ataupun praktis, berbagai macam percobaan serta penelitian telah banyak melahirkan ratusan filosof pendidikan yang hasilnya dijadikan dasar atau landasan operasional pendidikan di lapangan.
Menjalankan pendidikan secara garis besar tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bermacam persoalan sering kali menjadi penghambat atau penghalang pertumbuhan pendidikan baik di daerah, pusat bahkan hingga pendidikan dunia. Persoalan yang dihadapi tidak jauh berkisar antara unsur yang terdapat dalam pendidikan itu sendiri.
Proses pendidikan yang dewasa ini lahir dengan istilah pembelajaran, hal ini tentunya memberikan perhatian bersama bagi semua pengamat dan praktisi pendidikan untuk melihat ulang perjalanan pembelajaran yang selama ini berjalan. Telah banyak para ahli serta filosof pendidikan yang telah menghabiskan usia serta waktunya untuk memberikan kontribusi bagi pengembangan pendidikan hari ini, tanpa terkecuali adalah guru atau pendidik sebagai praktisi di lapangan. Fenomena yang sering muncul ditengah pendidikan kita di Indonesia adalah mengenai perkembangan peserta didik dan perkembangan  seorang pendidik, walau unsur yang lain juga ada namun tidak terlalu muncul dipermukaan.
Seringnya fenomena yang terjadi antara duabelah pihak antara sang guru dan sang murid, memberikan dampak negatif bagi perkembangan ranah kognitif, afektif, dan ranah psikomotornya. Khususnya fenomena ranah kognitif, misal terjadinya mis komunikasi antara siswa dan guru atau sebaliknya antara guru dan siswa. Kedua belah pihak memberikan peluang untuk saling menyoroti ketika para siswa tidak lulus atau tidak memiliki perubahan sama sekali setelah menempuh pembelajaran yang diberikan. Dalam hal ini kita tidak dapat menyalahkan semua pihak, akan tetapi perlu penganalisaan yang tajam untuk menemukan solusi atau langkah yang jelas untuk memperbaiki kekurangan dan kemerosotan pendidikan hari ini.
Menjawab fenomena tersebut, perlu melihat kajian teori yang nantinya memberikan pengalaman bersama untuk memecahkan permasalahan yang ada. Menurut teori perkembangan pembelajaran bahwa sikap siswa tidak hanya memerlukan respon atau stimulus untuk melakukan sesuatu, akan tetapi diperoleh karena pengulangan hubungan stimulus-respon dan adanya reward dan reinforcement namun berupa fungsi pengalaman-pengalaman persepsi dan proses kognitif yang mencakup ingatan, pengolahan informasi, dan sebagainya. Teori ini disebut dengan teori kognitivisme, yang menjelaskan bahwa belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang diamati.[2] Teori kognitivisme telah banyak dikembangkan oleh beberapa ahli seperti teori perkembangan piaget, teori belajar penemuan Jerome Bruner, teori belajar bermakna Ausubel, dan sebagainya. Teori- teori tersebut menarik untuk dikaji sebagai pertimbangan kita dalam menjalankan proses pembelajaran, guna tercapainya tujuan atau visi dan misi pendidikan.

B.    Tujuan
Adapun tujuan makalah ini adalah:
1. Untuk menjelaskan hakikat kognitivisme
2. Untuk menjelaskan tokoh serta konsep teori kognitif.
3. Menjelaskan proses pengolahan informasi
4. Menjelaskan aplikasi kognitif dalam pendidikan dan pembelajaran

C.   Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana hakikat kognitivisme?
2. Siapa saja tokoh-tokoh serta konsep teori kognitif?
3. Bagaimana proses pengolahan informasi?
4. Bagimana aplikasi teori kognitif dalam pendidikan dan    pembelajaran?


BAB II
PEMBAHASAN MAKALAH

A.    Pengertian Kognitivisme
Teori kognitivisme pada hakikatnya adalah teori yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan kemampuan manusia dalam memahami berbagai pengalamannya sehingga mengandung makna bagi manusia tersebut. Menurut Martini Jamaris, kognitif adalah proses yang terjadi secara internal di dalam otak pada waktu manusia sedang berpikir.[3] Oleh sebab itu, pemahaman terhadap perilaku manusia bukan dilakukan berdasarkan hubungan stimulus-respon, akan tetapi berdasarkan proses yang terjadi di dalam pikiran manusia pada waktu menerima informasi, seperti bagaimana informasi tersebut diorganisir, diingat, dan digunakan.
Kognitivisme meyakini bahwa belajar adalah hasil dari usaha individu dalam memaknai pengalaman-pengalamannya yang berkaitan dengan dunia sekitarnya. Oleh sebab itu belajar adalah proses yang melibatkan individu secara aktif. Untuk melakukan hal tersebut, maka seluruh kemampuan mental digunakan secara optimal. Hal ini tercermin dari cara berpikir yang digunakan individu dalam menghadapi situasi tertentu, selanjutnya harapan-harapan yang dirasakannya mempengaruhi cara ia belajar. Apa yang dipelajari individu sangat tergantung dari apa yang telah diketahuinya, dengan demikian pengetahuan yang ada dalam schemata atau struktur pengetahuan yang tersimpan dalam memori menjadi dasar untuk mempelajari pengetahuan yang baru. Jadi issu sentral yang menjadi perhatian para ahli psikologi kognitif adalah mekanisme yang berlangsung secara internal di dalam pikiran manusia pada waktu manusia berpikir dan proses yang terjadi dalam usaha manusia untuk mengetahui sesuatu yang dipikirkannya.

B.    Tokoh-tokoh serta Konsep Teori Kognitif
1.    Jean Piaget
Menurut Piaget, kemampuan kognitif berkembang sejalan dengan perkembangan sel-sel saraf otak. Jean Piaget adalah seorang ahli biologi dan psikologi perkembangan berkebangsaan Swiss. Ia merupakan ahli yang menemukan teori perkembangan kognitif (cognitive developmental). Piaget menyatakan bahwa anak membangun kemampuan kognitifnya melalui interaksi dengan dunia sekitarnya. Hasil dari interaksi ini terbentuklah struktur kognitif yang disebut dengan skemata, yang dimulai dengan terbentuknya struktur berpikir secara logis, yang kemudian berkembang menjadi suatu generalisasi atau kesimpulan umum.
Menurut Piaget, setiap individu mengalami fase-fase perkembangan kognitif sebagai berikut:[4]
a)    Fase Sensori-motor (0-2 tahun)
Fase sensori-motor menempati dua tahun pertama kehidupan. Fase ini diidentikkan dengan kegiatan motorik dan persepsi yang masih sederhana. Pada fase ini bayi membangun pemahamannya tentang dunia sekitarnya melalui pengalaman-pengalaman panca inderanya, seperti melihat, mendengar, dan berbagai gerakan fisik yang dilakukannya.
b)    Fase Pra-operasional (2-7 tahun)
Pada akhir masa dua tahun dalam kehidupan anak, terjadi peningkatan kualitas kognitif yang disebut fase pra-operasional. Ciri utama fase ini adalah berpikir simbolik, intuitif, egosentris, dan suka mendengarkan dongeng.
c)    Fase Operasional konkret (7-11 tahun)
Fase ini merupakan permulaan anak berpikir rasional. Ini berarti anak memiliki operasi-operasi logis yang dapat diterapkannya pada masalah-masalah yang kongkrit. Bila menghadapi suatu pertentangan antara pikiran dan persepsi, anak dalam  periode operasional kongkrit memilih mengambil keputusan logis, dan bukan keputusan perseptual seperti anak pra-operasional
d)    Fase Operasional formal (11 tahun – sampai usia dewasa)
Fase operasional formal adalah fase ke empat dari perkembangan kognitif menurut Piaget. Dalam fase ini cara berpikir anak berpindah dari berpikir secara operasi kongkrit ke cara operasi formal. Anak telah mampu melakukan proses berpikir rasional dan mampu memecahkan masalah secara ilmiah, yaitu proses berpikir yang dilakukan secara sistematis, yang dimulai dari masalah, pemahaman terhadap masalah, mengajukan hipotesis terhadap pemecahan masalah, mengumpulkan, memverifikasi data, dan mengambil kesimpulan yaitu apakah hipotesis yang diambil dapat diterima atau ditolak.
Pada usia pubertas anak mulai berpikir tentang jati dirinya dan proyeksi dirinya dimasa depan, misalnya akan menjadi apa dia kelak. Selanjutnya, kesadaran tentang jati diri tersebut akan mempengaruhi sudut pandang anak pada usia dewasa tentang aspek-aspek sosial yang berkembang sesuai dengan perkembangan terhadap dirinya yang berada diantara orang-orang disekitarnya.
Dalam pandangan Piaget, perkembangan kognitif dilakukan melalui serangkaian proses, yaitu proses asimilasi, akomodasi, dan equilibrium. Proses asimilasi berkaitan dengan proses penyerapan informasi baru kedalam informasi yang telah ada dalam struktur kognitif yang disebut schemata. Akomodasi adalah kemampuan untuk menggunakan informasi atau pengetahuan yang telah ada dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Adapun equilibrium terjadi pada saat mengalami hambatan dalam melakukan akomodasi pengetahuan dan pengalamannya untuk mengadaptasi lingkungan disekitarnya. Equilibrium ini dapat dimaknai sebagai sebuah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi atau pengembangan antara lingkungan luar dengan struktur kognitif yang ada dalam dirinya.

2.    Jerome Bruner
Salah satu teori perkembangan kognitif yang terkemuka adalah teori yang dikembangkan oleh Jerome Bruner. Menurut Bruner proses perkembangan kognitif berlangsung sejalan dengan perkembangan anak, dalam masa ini terjadi beberapa transisi perkembengan kognitif. Perkembangan kognitif menurutnya adalah perkembangan kemampuan berpikir yang berlangsung secara setahap demi setahap. Pengembangan kemampuan berpikir tersebut memerlukan interaksi anak dengan lingkungannya, yang disebutnya sebagai interaksi antara kemampuan yang ada dalam diri manusia dengan lingkungan disekitarnya dan berlangsung dalam waktu yang panjang. Hal ini disebabkan karena proses perkembangan kemampuan berpikir berlangsung sejalan dengan proses belajar. Dalam hal ini melalui proses belajar, anak secara perlahan dan terus menerus mengorganisasi lingkungannya ke dalam berbagai unit yang bermakna. Proses ini disebut Bruner sebagai proses konseptualisasi dan kategorisasi konsep yang tersusun dalam memori.
Melalui penelitiannya tentang evolusi perkembangan manusia, Bruner menemukan tiga bentuk sistem berpikr manusia yang menstruktur kemampuan manusia dalam memahami dunia sekitarnya. Ia mengemukakan bahwa manusia merespon lingkungan sekitarnya melalui gerakan motorik, melalui imajinasi dan persepsi tentang lingkungannya, dan melalui cara yang mewakili imajinasi dan persepsinya. Ketiga sistem berpikir manusia tersebut disebut sebagai (a) enactive representation, (b) iconic representation, (c) symbolic representation.[5]
a)  Enactive representation
Enactive representation berkaitan dengan cara yang digunakan dalam membangun kemampuan kognitif melalui pengalaman empirik atau pengalaman nyata. Misalnya, anak akan mengerti nama suatu makanan apabila makanan tersebut ditunjukkan kepadanya dan disebutkan namanya.
b)  Iconic representation
Iconic representation berkaitan dengan kemampuan manusia dalam menyimpan pengalaman empirik di dalam ingatannya. Anak yang telah mencapai kemampuan ini sudah dapat menyebutkan nama benda, dan peristiwa yang ditampilkan melalui gambar.
c)  Symbolic representation
Symbolic representation berkaitan dengan kemampuan manusia dalam memahami konsep dan peristiwa yang disajikan melalui bahasa. Pernyataan yang diungkapkan melalui bahasa mengandung konsep dan karakteristik konsep serta makna yang berkaitan dengan konsep tersebut. Dalam fase ini anak telah mampu berpikir abstrak.
Bruner terkenal dengan teori belajar yang disebut discovery learning dan intuitive thinking. Dalam menerapkan teorinya tersebut, maka ia menjelaskan sebagai berikut.
·         Guru perlu menciptakan suatu situasi yang mengandung masalah yang dapat mendorong siswa untuk menemukan sendiri kaitan struktur konsep dengan masalah yang dihadapinya dan mencari jalan keluarnya.
·         Struktur konsep tersebut terdiri dari ide-ide pokok yang terkandung dalam masalah, hubungan-hubungan yang ada atau detail dari ide-ide tersebut. Apabila siswa memahami ide pokok yang ada dalam struktur konsep maka ia akan menemukan sendiri secara detail informasi yang terkait dengan struktur konsep tersebut.
·         Berkaitan dengan kedua hal tersebut di atas, menurut Bruner, proses pembelajaran sebaiknya berlangsung secara induktif, bergerak dari fakta khusus dan spesifik ke arah generalisasi. Dalam hal ini guru hanya menyajikan ide-ide pokok, dan proses ide pokok menuju generalisasi ditemukan oleh siswa sendiri.
·         Dalam proses belajar, Bruner menyarankan pengembangan kemampuan dalam intuitive thinking atau berpikir intuitif. Dalam hal ini, guru menyajikan bukti-bukti yang kurang lengkap kemudian siswa diminta memprediksi kemungkinan adanya bukti-bukti lain yang dapat melengkapi bukti tersebut dengan menggunakan pemikiran intuitif secara sistematis. Untuk mengembangkan pemikiran intuitif ini, Bruner menyarankan pengembangan spiral kurikulum, artinya kurikulum yang dikembangkan berdasarkan proses kemampuan yang bergerak dari proses kemampuan yang sederhana kepada proses kemampuan yang lebih tinggi.

3.    David Ausubel
Pandangan Ausubel tentang kognitif tidak jauh berbeda dari pandangan Piaget dan Bruner, yaitu kemampuan kognitif berkembang secara bertahap dengan proses tertentu. Menurut Ausubel proses utama dalam menambah informasi ke dalam struktur kognitif atau schemata adalah dengan cara menambahkan informasi baru ke dalam struktur kognitif yang disebutnya dengan istilah subsumption. Ausubel membagi tahapan dan proses perkembangan kognitif ke dalam tiga bentuk yaitu (a) derivative subsumption, (b) correlative subsumption, dan (c) obliterative subsumption.
a)    Derivative subsumption
Derivative subsumption berkaitan dengan kenyataan bahwa belajar terjadi pada waktu anak membangun konsep baru di atas konsep yang telah diketahuinya. Misalnya, apabila anak telah mengetahui konsep apel maka konsep tersebut diperluas dengan konsep-konsep yang lebih detail yang berkaitan dengan apel, seperti apel merah, apel hijau, rasa apel, dan sebagainya.
b)    Correlative subsumption
Correlative subsumption berkaitan dengan perluasan konsep pada aspek-aspek terkait dengan konsep-konsep lain. Misalnya, anak yang telah memahami konsep apel akan menghubungkannya dengan konsep jeruk atau konsep tomat, seperti bentuknya, manfaatnya, dan sebagainya.
c)    Obliterative subsumption
Obliterative subsumption berkaitan dengan kemampuan dalam menentukan cara mempelajari konsep dan kaitannya. Misalnya, untuk memahami konsep apel maka anak perlu mengetahui karakteristik apel, seperti apel yang baik untuk dibuat kue, apel yang baik dimakan mentah, dan apel yang baik untuk dibuat juice.
Inti teori Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna atau meaningful learning. Belajar bermakna adalah suatu proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai oleh seseorang yang sedang belajar.[6] Sesuatu yang bermakna menurut Ausubel dapat dipetik dari suatu bahan bacaan yang dibaca atau sesuatu yang berada diluar diri siswa. Menurutnya materi yang disajikan melalui bacaan dan hal-hal lain yang dialami siswa dapat saja menjadi sesuatu yang bermakna. Kebermaknaan terjadi apabila siswa secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan menggunakan operasi kognitif.
Pandangan Ausubel tentang belajar bertolak belakang dengan pandangan Bruner. Menurut Ausubel belajar seharusnya berlangsung secara reception atau menerima, bukan berdasarkan discovery atau menemukan. Oleh sebab itu, guru seharusnya menyajikan materi pelajaran yang disusun sesuai dengan urutan dan keluasannya kepada siswa dalam bentuk yang utuh. Dengan kata lain, seluruh materi pelajaran, konsep, prinsip, proposisi, teori, dan aplikasinya disajikan secara utuh oleh guru kepada siswa, dan tugas siswa adalah menginternalisasi informasi yang disampaikan guru tersebut untuk digunakan pada masa yang akan datang. Ausubel menyebut metode pembelajaran ini dengan istilah expository teaching. Penerapan expository teaching memiliki tiga karakteristik seperti di bawah ini.
·    Memiliki tingkat interaksi yang tinggi antara guru dan siswa yang dapat dilakukan dengan metode ceramah, tanya jawab, dan demonstrasi.
·         Menggunakan contoh yang banyak dan bervariasi.
·      Penyaian materi pembelajaran dilakukan secara deduktif, artinya dimulai dari hal-hal yang umum menuju kepada hal-hal yang khusus. Openyajian tersebut disusun secara berurutan. Penyajian materi pembelajaran ini dikenal dengan istilah advance organizers. Advance organizers adalah cara penyajian pembelajaran yang dimulai ndengan pernyataan yang mengandung konsep yang luas atau generalisasi, dan menguraikan konsep itu ke dalam konsep-konsep yang lebih spesifik. Dalam advance organizers, konsep atau generalisasi disajikan kepada siswa dalam mempelajari materi yang baru, akan tetapi dikaitkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Dengan demikian siswa mempunyai kerangka berpikir yang akan digunakannya sebagai dasar dalam melakukan interpretasi terhadap materi tersebut ke dalam konsep-konsep yang lebih spesifik.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran yang berdasarkan meaningful learning dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
·         Materi pembelajaran disusun dalam urutan logis
·         Materi pembelajaran disusun berdasarkan advance organizers
·         Materi pembelajaran dikaitkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa
· Menggunakan expository teaching, yang disajikan dalam bentuk penjelasan, demonstrasi dan catatan atau narasi
·         Menyajikan materi pembelajaran dengan berbagai konteks yang relevan
·         Mereview materi pembelajaran yang disajikan untuk mengetahui efektifitas penyajian dan umpan balik yang diperlukan
·  Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menerapkan konsep baru yang dipelajarinya dalam konteks yang bermakna.

4.    Bloom
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.[7] Untuk mengavaluasi hasil belajar siswa yang diharapkan, diperlukan tujuan yang bersifat operasional yaitu tujuan berupa tingkah laku yang dapat dikerjakan dan diukur.
Benyamin Bloom mengklasifikasikan kemampuan hasil belajar kedalam tiga kategori, yaitu:
a.    Ranah kognitif, meliputi kemampuan menyatakan kembali konsep atau prinsip yang telah dipelajari dan kemampuan intelektual.
b.    Ranah afektif, berkenaan dengan sikap dan nilai yang terdiri atas aspek penerimaan, tanggapan, penilaian, pengelolaan, dan penghayatan.
c.    Ranah psikomotorik, mencakup kemampuan yang berupa keterampilan fisik (motorik) yang terdiri dari gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, ketepatan, serta ekspresif.
Adapun dalam makalah ini, penulis hanya menjelaskan ranah kognitif secara lebih terperinci, dimana Bloom membagi ranah kognitif kedalam enam jenjang kemampuan secara hierarkis, yaitu:
1)    Pengetahuan
Merupakan kemampuan untuk mengenal atau mengingat kembali sesuatu objek, ide, prosedur, prinsip atau teori yang pernah ditemukan dalam pengalaman tanpa harus memahami atau menggunakannnya. Tingkatan ini merupakan tingkatan yang paling rendah namun menjadi prasyarat bagi tingkatan selanjutnya. Contoh kata kerja yang digunakan yaitu menyebutkan, mendefinisikan, menggambarkan.
2)    Pemahaman
Merupakan salah satu jenjang kemampuan dalam proses berpikir dimana siswa dituntut untuk memahami yang berarti mengetahui tentang sesuatu hal dan dapat melihatnya dari beberapa segi. Pada tingkatan ini, selain hapal siswa juga harus memahami makna yang terkandung, misalnya dapat menjelaskan suatu gejala, dapat menginterpretasikan grafik, bagan atau diagram serta dapat menjjelaskan konsep atau prinsip dengan kata-kata sendiri. Contoh kata kerja yang digunakan yaitu menyajikan, menginterpretasikan, menjelaskan.
3)    Penerapan
Merupakan kemampuan menggunakan prinsip, teori, hukum, aturan, maupun metode yang dipelajari pada situasi baru atau pada situasi kongkrit. Contoh kata kerja yang digunakan yaitu mengaplikasikan menunjukkan, menghitung.
4)    Analisis
Merupakan kemampuan untuk menganalisa atau merinci suatu situasi, atau pengetahuan menurut komponen yang lebih kecil dan memahami hubungan diantara bagian yang satu dengan yang lain.
5)    Sintesis
Merupakan kemampuan untuk mengintegrasikan bagian-bagian yang terpisah menjadi suatu keseluruhan yang terpadu, atau menggabungkan bagian-bagian sehingga terjelma pola yang berkaitan secara logis, atau mengambil kesimpulan dari peristiwa-peristiwa yang ada hubungannya satu dengan yang lainnya. Contoh kata kerja yang digunakan yaitu menghasilkan, merumuskan, mengorganisasikan.
6)    Evaluasi
Merupakan kemampuan untuk membuat pertimbangan (penilaian) terhadap situasi, nilai-nilai, atau ide-ide. Kemampuan ini merupakan kemampuan tertinggi dari kemampuan lainnya, yaitu bila seseorang dapat melakukan penilaian terhadap situasi, nilai-nilai atau ide-ide. Contoh kata kerja yang digunakan yaitu menilai, menafsirkan, memutuskan.

5.    Gestalt
Manusia pada hakikatnya memahami objek dan peristiwa secara keseluruhan dengan pola yang terintegrasi, tidak terpisah-pisah. Berdasarkan cara manusia memahami lingkungannya maka ia akan memahami lingkungannya dalam pola yang mengandung makna. Oleh sebab itu, Gestalt memandang bahwa keseluruhan lebih berarti dari pada bagian-bagian.
Teori Gestalt memandang bahwa belajar adalah proses yang didasarkan pada pemahaman (insight).[8] Karena pada dasarnya setiap tingkah laku seseorang selalu didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi di mana tingkah laku tersebut terjadi. Pada situasi belajar, keterlibatan seseorang secara langsung dalam situasi belajar tersebut akan menghasilkan pemahaman yang dapat membantu individu tersebut memecahkan masalah. Dengan kata lain teori gestalt ini menyatakan bahwa yang paling penting dalam proses belajar individu adalah dimengertinya apa yang dipelajari individu tersebut. Oleh karena itu, teori belajar gestalt ini disebut teori insight.
Konsep insight dapat juga berarti pengamatan dan pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian dalam suatu situasi permasalahan. Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan teori Gestalt, guru tidak memberikan potongan-potongan atau bagian-bagian bahan ajaran, tetapi selalu satu kesatuan yang utuh. Guru memberikan suatu kesatuan situasi atau bahan yang mengandung persoalan-persoalan, dimana anak harus berusaha menemukan hubungan antar bagian, memperoleh insight agar ia dapat memahami keseluruhan situasi atau bahan ajaran tersebut. “insight” itu sering dihubungkan dengan pernyataan spontan seperti “aha” atau “oh, see now”. Menurut teori Gestalt ini pengamatan manusia pada awalnya bersifat global terhadap objek-objek yang dilihat, karena itu belajar harus dimulai dari keseluruhan, baru kemudian berproses kepada bagian-bagian. Pengamatan artinya proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera seperti mata dan telinga.

C.   Proses Pengolahan Informasi
Pengolahan informasi merupakan salah satu bentuk pendekatan berdasarkan kognitivisme. Pendekatan ini, memandang proses belajar yang terjadi dalam diri individu sebagai suatu proses penerimaan informasi. Hal ini dapat dianalogikan dengan proses yang terjadi dalam komputer. Belajar dimulai dari input yang datang dari lingkungan, diterima oleh pancaindra, kemudian diproses dan disimpan di dalam memori, dan output dari pembelajaran adalah berbagai kemampuan atau kompetensi.[9]
Pada dasarnya proses pengolahan informasi adalah usaha pencarian makna yang dapat menjelaskan hubungan antara stimulus yang ditangkap oleh pancaindra atau input, yang dilihat, didengar, dirasa, dicium, dan disentuh dengan respon atau output yang sesuai.
Secara terperinci dapat dijelaskan bahwa komponen penerimaan informasi terdiri dari:
a)    Penerimaan input sensori dipengaruhi oleh orientasi individu yaitu hal-hal yang berkaitan dengan penerimaan dan pemilihan input sensori yang akan diperhatikannya.
b)    Mengorganisasi pola ingatan dan schemata yang berkaitan dengan pemilihan input sensori yang menjadi perhatian. Schemata adalah struktur pengetahuan yang disimpan dalam ingatan.
c)    Dalam mengorganisasi pola ingatan, ingatan jangka panjang merupakan sumber informasi yang dibutuhkan, yang diwujudkan dalam bentuk mengingat kembali informasi yang berkaitan dengan pengetahuan, perasaan, dan keterampilan yang dicari untuk disusun kembali sesuai dengan kebutuhan.
d)    Hasil penyusunan tersebut menjadi ingatan aktif yang digunakan untuk memberikan respon yang sesuai.
Bertitik tolak dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengolahan atau pemerosesan informasi berkaitan dengan cara yang digunakan oleh individu dalam memproses informasi yang diterimanya dari lingkungannya, proses mengirimkan informasi tersebut ke dalam pikirannya, mengolah dan menyimpan informasi menjadi ingatan, mentransformasikan serta memanggil kembali informasi yang telah disimpan dalam ingatan, dan menjadikannya ingatan aktif yang digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi individu tersebut.

D.   Aplikasi Teori Kognitif dalam Pendidikan dan Pembelajaran
Aplikasi teori belajar kognitivisme dalam pendidikan dan pembelajaran, yaitu guru harus memahami bahwa siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya, anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar belajar menggunakan benda-benda kongkrit, keaktifan siswa sangat dipentingkan, guru menyusun materi dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana kekompleks, guru menciptakan pembelajaran yang bermakna, memperhatikan perbedaan individual siswa untuk mencapai keberhasilan siswa. Jadi dalam kegiatan pembelajaran guru lebih memusatkan perhatian siswa kepada cara berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti. Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Kognitif adalah proses yangterjadi secara internal di dalam otak pada waktu manusia sedang berpikir. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap perilaku manusia bukan dilakukan berdasarkan hubungan stimulus-respon, akan tetapi berdasarkan proses yang terjadi di dalam pikiran manusia pada waktu menerima informasi, seperti bagaimana informasi tersebut diorganisir, diingat, dan digunakan.
Menurut Piaget, kemampuan kognitif berkembang sejalan dengan perkembangan sel-sel saraf otak. Piaget menyatakan bahwa anak membangun kemampuan kognitifnya melalui interaksi dengan dunia sekitarnya. Hasil dari interaksi ini terbentuklah struktur kognitif yang disebut dengan skemata, yang dimulai dengan terbentuknya struktur berpikir secara logis, yang kemudian berkembang menjadi suatu generalisasi atau kesimpulan umum. Bruner menjelaskan bahwa proses perkembangan kognitif berlangsung sejalan dengan perkembangan anak, dalam masa ini terjadi beberapa transisi perkembengan kognitif. Perkembangan kognitif menurutnya adalah perkembangan kemampuan berpikir yang berlangsung secara setahap demi setahap. Bloom terkenal dengan taksonomi tujuan pendidikannya yang dibagi kedalam tiga ranah yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Adapun Gestalt memandang bahwa proses belajar sebagai suatu yang berlangsung dalam serangkaian proses yang mengandung tujuan, penjelasan, imajinasi, dan kreativitas. Oleh sebab itu proses belajar dapat diidentifikasi dengan adanya kegiatan berpikir atau proses konseptualisasi.

B.    Saran-saran
Adapun saran penulis antara lain:
1)    Guru hendaknya menyusun materi pembelajaran dari yang sederhana kekompleks
2)    Dalam melaksanakan pembelajaran guru harus memperhatikan perbedaan individual siswa untuk mencapai keberhasilan
3)    Guru hendaknya menitikberatkan pada proses belajar, dari pada hasil yang dicapai oleh siswa
4)    Guru hendaknya mengusahakan atau merancang agar siswa terlibat secara aktif dalam kegiatan belajar.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hamid, Teori Belajar dan Pembelajaran, Medan: Universitas Negeri Medan Press, 2003

Halahullahal, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008

John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2008

Martini Jamaris, Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, Jakarta: Yayasan Penamas Murni, 2010

Ratna Wilis, Teori-teori Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Erlangga, 2011

Robert E. Slavin, Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktek, Jakarta: Indeks, 2011

William Crain, Teori Perkembangan Konsep dan Aplikasi, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2007

http://downloads.ziddu.com, diakses tanggal 20 Januari 2012

http://kreasimudaunisi.blogspot.com, diakses tanggal 17 Januari 2012

http://tatangmanguny.wordpress.com, diakses tanggal 19 Januari 2012


[1] Halahullahal, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h. 1
[2] Abdul Hamid, Teori Belajar dan Pembelajaran (Medan: Universitas Negeri Medan Press, 2003), h. 20
[3] Martini Jamaris, Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan (Jakarta: Yayasan Penamas Murni, 2010), h.32
[4] Ratna Wilis, Teori-teori Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 137-140
[5] Martini Jamaris, Op. Cit. , h. 183
[6] http://kreasimudaunisi.blogspot.com, diakses tanggal 17 Januari 2012
[7]  http://tatangmanguny.wordpress.com, diakses tanggal 19 Januari 2012
[8] http://downloads.ziddu.com, diakses tanggal 20 Januari 2012
[9] Martini Jamaris, Op. Cit. , h. 174

Tidak ada komentar:

Posting Komentar