Konsep Kunci
·
Komunikasi
dan bahasa adalah keterampilan sangat kompleks, yang paling baik difahami pada
saat komunikasi itu sedang berlangsung dalam konteks dari suatu interaksi
sosial.
·
Keterampilan
berkomunikasi berkembang pada tahap awal kelahiran dan menjadi landasan
berbahasa di tahun-tahun pertama.
·
Perkembangan
bahasa pada masa prasekolah merupakan keterampilan pragmatis di mana bahasa
dipakai menurut kegunaannya yang memudahkan anak untuk berkomunikasi secara
efektif dan tepat dalam berbagai konteks sosial.
·
Fokus
dari intervensi komunikasi harus di letakkan pada perkembangan fungsi keterampilan
berkomunikasi yang memudahkan anak memulai interaksi sosial untuk mempengaruhi
lingkungannya.
·
Perilaku
kunci bagi orang dewasa saat memfasilitasi keterampilan berkomunikasi adalah
mendengarkan dan merespon usaha anak dalam berkomunikasi, kemudian memetakan
bahasa berdasarkan pengalaman anak.
·
Pembelajaran
bahasa kedua diajarkan dengan cara yang sama seperti keterampilan dalam bahasa
utama, di mana bahasa kedua sangat baik dipelajari dalam lingkungan sosial yang
interaktif.
·
Pada
dasarnya semua anak mampu berkomunikasi. Bagi anak-anak dengan keterbelakangan
kemampuan, komunikasi model alternatif dapat di terapkan.
·
Bagi
anak yang memiliki kelemahan pendengaran, guru haruslah memperhatikan kedua hal
penting yaitu kata-kata yang terlewatkan oleh anak dan penggunakan komunikasi
manual.
Subskills Berbahasa
Bloom dan Lahey (1978)
mendeskripsikan tentang penggunaan konsep kerangka kerja untuk mengatur
kompleksitas dalam pemahaman bahasa. Kerangka kerja ini mendefinisikan tiga
dimensi bahasa yaitu : isi, kegunaan dan
bentuk. Setiap dimensi mengaitkan
beberapa subskills linguistik tradisional seperti semantik, sintaks, morphologi,
phonologi dan pragmatik.
Isi, Kegunaan dan Bentuk
Isi
dari bahasa
adalah pengertiannya – berkenaan untuk atau tentang apa. Kegunaan menunjuk pada fungsi bahasa – serta untuk apa bahasa itu
digunakan. Sementara bentuk bahasa
berkaitan dengan sintaksisnya juga struktur morphologikal (misalnya urutan dan
bentuk katanya) dan bentuk phonologikal (misalnya bunyi khusus atau fonem
urutan bunyi dari pembicaraan yang terjadi). Setiap ungkapan bisa dianalisis
menurut tiga dimensi ini. Teori kerangka kerja sangatlah membantu dalam
menjelaskan multidimensi dan kompleksitas bahasa.
Semantik
Mempelajari makna kata (semantik)
sangat tergantung pada interaksi orang dewasa yang memberi penjelasannya.
Misalnya berbicara tentang samudera pada anak yang belum pernah punya
pengalaman tentang hal itu. Seorang anak tidak akan bisa mempelajari makna dari suatu kata jika ia tak diberi
kesempatan untuk mempelajarinya langsung, yaitu dengan melihat dan menyentuh
hal yang dimaksud.
Bloom dan Lahey (1978)
mendeskripsikan beberapa hubungan semantik dengan kombinasi dua kata awal yang diekspresikan
anak. Ini termasuk pengertian seperti permintaan ulang, kehilangan sesuatu,
kemunculan seseorang atau sesuatu, penolakan, aksi fisik, lokasi, kepemilikan
dan situasi tertentu.
Syntaks
Mempelajari kaidah-kaidah atau
aturan tentang urutan kata yang benar dalam kalimat dan ucapan adalah salah
satu aspek syntaks. Anak belajar
untuk mengungkapkan kalimat yang benar secara sintaksis hanyalah sekedar usaha
untuk berkomunikasi dan mereka secara tak sadar telah mempraktekkannya. Tetapi
sebagaimana mereka belajar, anak-anak di manapun mereka berada akan
mengembangkan bahasa dalam urutan yang sama. Antara usia 10 dan 14 bulan,
biasanya menggunakan kata tunggal untuk berkomunikasi. Saat berumur dua tahun,
mereka merangkai dua atau tiga kata bersamaan dan diusia empat tahun mereka
telah menguasai aturan-aturan sintaksis serta mulai berkreasi dan mempraktekkan
kalimat-kalimat seperti yang telah mereka dengar dan pelajari selama ini.
Morphology
Yaitu kaidah-kaidah dalam perubahan
bentuk kata. Kapan menggunakan kata ganti kepemilikan, kapan menggunakan kata
dalam bentuk jamak, perbandingan dan seterusnya.
Saat anak mempelajari morphology
mereka seringkali membuat kesalahan. Mereka ‘mengovergeneralisasikan’ makna
dalam mengungkapkan pendapat mereka. Walau demikian kesalahan mereka adalah
logis dan mengisyaratkan bahwa mereka tidak hanya meniru dari apa yang mereka
dengar. Disinilah peran orang dewasa untuk menjadi model yang baik bagi mereka
dan selalu berupaya membantu mereka dalam berkomunikasi sehingga pada akhirnya
mereka sendiri bisa menemukan formula berbahasa yang tepat.
Phonology
Mempelajari kaidah sistem bunyi
ucapan dan bahasa (phonology) melibatkan tidak hanya bunyi ucapan tunggal atau
fonem, tapi juga menemukan bahwa perubahan nada dan ritme membuat sebuah
perbedaan. Pola intonasi (prosodik atau sisi suprasegmental) di pelajari sangat
awal. Bayi yang baru berusia beberapa bulan bisa membunyikan nada bicara hampir
seperti pola orang dewasa. Pendengar yang teliti bisa memahami pertanyaan dan
pernyataan dalam pola-pola intonasi ungkapan seorang bayi, jauh sebelum
kata-katanya bisa didengar. Mendengar dengan teliti juga bisa mendeteksi
seruan-seruan yang terjadi.
Mendekati usia enam bulan, banyak
bayi mulai mengoceh dalam suku kata termasuk sistem fonem dari orang dewasa. Apa
yang mereka ungkapkan biasanya masih jauh dari sasaran ucapan. Masuk satu tahun
mereka telah belajar untuk menggunakan beberapa bunyi secara akurat, disinilah
muncul kata pertama mereka. Namun demikian, keakuratan bunyi itu sangat
tergantung pada kemampuan mendengar suara, kefasihan dan seberapa sering mereka
mengucapkan itu. Biasanya anak-akan semakin meningkatkan kelancaran bicaranya
saat berusia empat tahun.
Pragmatik
Yaitu pembelajaran tentang
bagaimana menggunakan bahasa dengan tepat dalam berbagai konteks adalah suatu
hal yang sangat krusial untuk mensukseskan perkembangan keterampilan
berkomunikasi (Prutting dan Kirchner, 1987). Pragmatik Linguistik mengacu
kepada aturan dan konvensi yang mengatur bagaimana bahasa digunakan dalam
situasi yang berbeda. Keterampilan berkomunikasi secara pragmatis juga termasuk
perilaku non verbal (Bates 1976, Ochs 1979).
Pembicara dan pendengar secara
tak sengaja telah mengikuti suatu panduan berkomunikasi saat mereka berbicara
satu sama lain. Ini termasuk juga perilaku seperti saling pandang, menatap dan
menunggu pembicara untuk jeda sejenak sebelum si pendengar mulai berbicara.
Perilaku memerlukan perhatian untuk memperhalus isyarat. Ekspresi wajah dan
bahasa tubuh yang sesuai untuk suatu keadaan, sangat perlu di pelajari. Seorang
anak biasanya sangat peka dengan komunikasi non verbal di mana mereka bisa
dengan cepat mendeteksi adanya ketidaktulusan dari lawan bicaranya.
Situasi, topik khusus, hubungan
antara pembicara dan pendengar serta variabel lainnya dapat menentukan apa yang
diucapkan akan selaras dengan bagaimana ia diucapkan. Anak yang tidak menguasai
keterampilan pragmatik akan sulit difahami ucapannya oleh teman dalam kelompok
belajarnya.
Penelitian menemukan bahwa
anak-anak sebenarnya menggunakan petunjuk kontekstual ini untuk mempermudah
diri mereka dalam memahami, jauh lebih dalam dari hanya sekedar kata itu
sendiri.
Sebagaimana yang digambarkan
Bates (1976), Kemahiran dari keterampilan pragmatik mulai berkembang baik
sebelum kata pertama anak diucapkan. Bates mendeskripsikan berbagai aksi
komunikasi prelinguistik seperti menunjuk dan meraih yang dikombinasikan dengan
vokalisasi dan pandangan terarah. Tipe perilaku seperti ini biasanya muncul
pada bayi berusia 10 bulan yang merupakan dasar penting pada perkembangan
bahasanya dikemudian hari.
Kontribusi dari
Teori Interaksi untuk Memahami Perkembangan Komunikasi Awal
Teori-teori tentang interaksi
sosial menemukan bahwa ternyata bahasa paling banyak dipelajari dari sebuah interaksi
sosial (Mc-Cormick, Loeb dan Schiefelbusch, 2003). Anak yang berada dalam
isolasi dalam arti tidak mempunyai kesempatan berinteraksi sosial dengan
orang-orang disekitarnya akan kehilangan ketertarikannya untuk berkomunikasi.
Karena komunikasi hanya akan terjadi jika anak memiliki dyad (pasangan signifikan dari individual). Dalam hal ini dyad orang
tua-anak atau guru-murid. Kontribusi dari percakapan dan interaksi pada
perkembangan keterampilan komunikasi anak dan peran awal pengasuh-batita serta
interaksi pengasuh-anak dalam perkembangan anak pengaruhnya tak dapat
dipungkiri (Sachs, 2001).
Perubahan lainnya dari fokus
studi tentang perkembangan keterampilan berkomunikasi pada anak telah mengalami
pergeseran, yaitu dari studi tentang bentuk dan struktur bahasa kepada tujuan
pembelajaran perilaku komunikatif anak, serta fungsi dari penggunaan perilaku
komunikatif dalam konteks sosial. Fokus dari bidang ini menuju pada
pengembangan pragmatik (Bates, 1976).
Perhatian dari bidang ini telah
menghasilkan informasi dan teori dengan implikasi penting terhadap lapangan
pendidikan khusus anak usia dini. Beberapa teori yang telah dikembangkan merefleksikan
beberapa aspek dari fokus interaksi sosial. Tannock, Girolametto dan Siegel
(1992) mendeskripsikan sebuah model interaktif yang mengatakan bahwa kemampuan
orang tua dalam bereaksi dan penggunaan ‘motherese’ adalah faktor-faktor kritis
dalam perkembangan komunikasi. Model ini juga mengusulkan intervensi strategis
berdasarkan teori. Ini termasuk penyertaan latar belakang anak, penggunaan strategi
seperti meningkatkan kesabaran untuk memotivasi inisiatif berkomunikasi dan
mengambil giliran dan tehnik-tehnik modeling bahasa tertentu, termasuk
penggambaran tentang apa yang dilakukan anak, pengulangan kata-kata kunci dan
phrase juga perluasan secara sintaksis dan semantik terhadap ungkapan anak.
Bates dan McWhinney (1988)
mendeskripsikan model ‘fungsional’. Teori ini menyarankan pengembangan tata bahasa
sebagai sebuah fungsi dari penggunaan yang komunikatif dan pengertian di dalam
konteks interaksi komunikatif.
Teori ketiga dari tipe
pembelajaran ini diusung oleh Nelson (1986). Teori Nelson didasarkan pada
dugaan adanya penyimpangan peristiwa mekanisme pembelajaran. Pada bagian
interaksi anak dengan yang lain, di saat mereka akan menjadi perhatian utama
untuk menggunakan bahasa khusus dan untuk ketidaksebandingan antara keterampilan
yang berhubungan dengan tata bahasa sekarang dan model orang dewasa.
Sebagaimana tahap perkembangan proses kognitif anak yang dimulai dari perhatian
yang selektif, penyimpanan informasi, mendapatkan keterangan dan menguji
hypotesis yang kesemuanya diaktifkan untuk mengambil tempat bagi pembelajaran
struktur bahasa baru. Sekali lagi ini di dalam konteks dari kebermaknaan
interaksi dengan lawan bicara yang baik dan disaat komunikasi itu berlangsung.
Teori keempat adalah yang lebih
dikenal yaitu teori Vygotsky (1978) tentang mediasi sosial orang dewasa
terhadap pengalaman belajar anak-anak. Teori ini dapat diaplikasikan untuk
semua jenis pembelajaran dan tidak hanya terbatas pada pengembangan bahasa.
Teori ini menyarankan agar orang dewasa atau teman sebaya yang punya
kapabilitas lebih dalam berkomunikasi untuk dilibatkan dalam memberi bantuan
kepada anak dalam konteks interaksi sosial. Kegiatan ini akan memberikan banyak kemudahan bagi anak untuk menguasai
sebuah keterampilan khusus dan pada akhirnya mencapai kemandirian (Brunner,
1983)
Pendekatan Interaksi sosial telah
memberikan pemahaman yang lebih dalam terhadap pengembangan bahasa pada
tahun-tahun awal kehidupan seorang anak. Selanjutnya penelitian dan teori yang berhubungan
dengan efek pemakaian pengasuh dan interaksi sosial pada perkembangan anak
memiliki implikasi penting untuk intervensi strategi dan desain intervensi awal
kurikulum (Rosetti, 2001)
Tahap-Tahap
Perkembangan Komunikasi pada Anak
Seorang pendidik anak usia dini sedapat
mungkin harus berupaya untuk memahami tahap perkembangan keterampilan
berkomunikasi anak secara menyeluruh. Berikut ini akan dijelaskan garis besar
pencapaian dalam ketrampilan berkomunikasi sejak lahir sampai usia tiga tahun.
Komunikasi Prelinguistik
Di
bulan-bulan pertama kehidupan seorang batita, komunikasi tidak benar-benar
disengaja. Namun demikian, mereka bisa difahami dengan mudah oleh orang-orang
disekitarnya. Misalnya menangis, tersenyum, mendengkur, melihat bahkan meraih
adalah perilaku yang memberikan arti besar bagi pengasuhnya. Istilah yang
selalu digunakan untuk mendeskripsikan perilaku komunikatif adalah ‘perlocutionary’ (Bates, 1976).
Fungsi Prelinguistik
Perilaku komunikatif yang tak
disengaja selalu mengarah sebagai ‘illocutionary’.
Halliday (1975) menggambarkan beberapa kategori dari fungsi komunikasi yang di
gunakan infant :
-
Fungsi interaksional menunjuk kepada fungsi ‘kamu dan
saya’. Dengan menggunakan fungsi ini, infant mencoba untuk memperoleh interaksi
dan perhatian dari orang lain disekitarnya.
-
Fungsi instrumental menunjuk kepada fungsi ‘saya
ingin’. Disini infant menggunakan perilaku komunikatif untuk mendapatkan
sesuatu yang diinginkannya dari lingkungannya, seperti makanan atau objek yang
menarik perhatiannya.
-
Fungsi regulatory adalah fungsi ‘Seperti yang
kukatakan padamu’. Digunakan infant untuk mengontrol perilaku orang lain.
- Fungsi Personal, di sebut sebagai fungsi ‘aku di
sini’. infant memakai fungsi ini untuk mengekspresikan secara sederhana
perasaan mereka.
-
Fungsi heuristik, adalah fungsi yang penting
karena ia mengatur tahapan dimana infant menggunakan komunikasi untuk
memperoleh informasi dari orang dewasa di sekitarnya. Ini mengarah pada fungsi
‘Beritahu aku, mengapa?’
-
Fungsi imajinatif, dipakai infant selama masa
prelinguistik dari perkembangan komunikasi. Fungsi imajinatif menunjuk kepada
fungsi ‘ayo berpura-pura’. Kegiatan ini misalnya saat infant menirukan suara
mobil dan seterusnya.
Permulaan Bahasa
Sekitar
usia satu sampai satu setengah tahun, infant baru mulai benar-benar mempelajari
kata-kata pertamanya. Setelah tahapan ini komunikasi menjadi simbolik dan
konvensional. Batita terus menggunakan semua fungsi komunikasi, namun bedanya
pada tahap ini banyak fungsi-fungsi diekspresikan dengan memakai kata-kata yang
mudah dikenal. Menurut Halliday (1975), masa ini komunikasi berada pada tahap fungsi informatif karena sekarang anak
dapat berbagi informasi melalui perilaku bahasa secara simbolik.
Disaat
yang sama, kemampuan anak juga telah selangkah lebih maju pada tahapan baru
perkembangan kognitif yaitu tahap praoperasional. Pada masa ini batita telah
mampu merepresentasikan sesuatu secara mental. Ia juga bisa menggunakan
perilaku simbolik yang ia temukan serta mampu bercerita tentang apa yang
terjadi pada masa yang sudah lewat.
Jadi,
perkembangan awal dari gaya bicara konvensional terjadi secara bersamaan dengan
peristiwa penting dalam perkembangan kognitif batita. Komunikasi batita tidak
lagi hanya terikat pada konteks ‘di sini dan sekarang’. Melainkan mereka secara
aktif akan memanfaatkan interaksi sosial dan memanipulasi lingkungannya untuk
menemukan keinginan dan kebutuhan dasarnya. Pada fase ini mereka telah memiliki
kemampuan untuk berbagi pengalaman dengan orang lain.
Kombinasi Kata
Sekitar usia 20 sampai 24 bulan,
biasanya struktur bahasa batita mulai mengkombinasikan dua kata atau lebih ke
dalam kalimat (syntaks) dan berbagai bentuk kata (morphology). Seorang Batita
sudah bisa diarahkan untuk mengatakan ‘aku mau jus’ dari pada mengatakan hal
tersebut dengan memproduksi kata secara sepotong-potong dan tidak beraturan
seperti ‘mau...,jus..,aku...’ dan
seterusnya. Banyak sekali literatur dari tahun 1960 – awal 1970 yang
mendeskripsikan secara detil tentang evolusi perkembangan tata bahasa anak.
Meski tidak semua guru PAUD familiar dengan semua detil spesifik tentang
perkembangan tata bahasa anak, tapi guru-guru harus tahu tahapan besar dari
perkembangan struktur bahasa seperti yang dideskripsikan paragraf berikut ini:
a. Bahasa
Telegrafik
Saat anak
mulai mengkombinasikan dua kata, kebanyakan mereka suka menggunakan kata yang
memiliki arti kebanyakan. Tulisan awal tentang kemahiran berbahasa anak,
ungkapan-ungkapan ini disebut ‘telegrafik’ karena anak cenderung menghilangkan kata yang tidak
perlu.
b. Morfem
Tata Bahasa
Pada usia
dua tahun, anak mulai memasukkan tata bahasa morfem dalam ungkapannya. Walau mereka
masih sering menggunakan tata bahasa yang salah, tapi ini merupakan tahap yang
jauh lebih baik dibanding saat mereka menggunakan bahasa telegrafik. Di sinilah
peran guru untuk memberikan contoh bagaimana cara mengutarakan sesuatu dengan
struktur kalimat yang benar.
c. Kalimat
sederhana
Menginjak
usia tiga tahun, anak mulai berbicara dalam kalimat-kalimat sederhana dan mampu menirukan kalimat-kalimat
yang dipakai orang dewasa di sekitarnya. Kalimatnya terdiri dari sebuah subjek,
predikat termasuk morfem tata bahasa yang diperlukan meskipun masih belum benar.
Anak dalam usia ini juga telah mampu membuat kalimat transformasi untuk membuat
pertanyaan misalnya ‘lihat bonekaku tidak?’ atau memberikan perintah
‘kembalikan bonekaku!’ serta memberikan pernyataan deklaratif ‘Ini bonekaku’
d. Kalimat
Kompleks
Usia
empat tahun, biasanya anak-anak sudah lebih lancar mengkombinasikan kata ke dalam
kalimat serta mampu mengungkapkannya dengan lebih jelas. Mereka juga bisa
mengungkapkan kalimat yang lebih kompleks, misalnya ‘Aku tidak mau pergi ke
toko kalau aku tidak dibelikan mainan’. Bahkan dalam tahap ini mereka bisa
menyesuaikan bicaranya dengan keadaan, usia dan status pendengarnya. Saat akan
meminta sesuatu yang dimiliki adiknya yang berusia dua tahun, ia akan berkata
‘Berikan aku es krimnya!’. Namun saat berbicara pada yang lebih tua biasanya ia
akan merubah struktur bahasanya ‘Boleh tidak aku minta es krim lagi?.
Anak usia
4-5 tahun juga memiliki kapabilitas untuk memulai sebuah percakapan. Ia bisa
menunggu giliran bicara, memperluas topik pembicaraan dan mengembalikan percakapan kepada partner bicaranya. Pada
akhirnya anak usia 4-5 tahun dapat berbicara secara naratif -- bercerita yang
didahului dengan awal mula cerita, tengah dan penutup. Saat ini anak tidak
hanya mampu menggunakan bahasa dalam memanipulasi lingkungannya utuk menemukan
interaksi sosial, tapi mereka juga dapat mengekspresikan emosi dan berbagi
pengalaman dan ide dengan orang lain. Bahasa dan kognitif sekarang merupakan
bagian yang tak terpisahkan dan kedua aspek itu akan bersama-sama berkembang
dalam diri anak untuk memecahkan masalah mereka dan mempelajari dunia.
Kondisi yang
Diperlukan untuk Mengembangkan Keterampilan Berkomunikasi
Pertama,
keseluruhan sistem sensori haruslah utuh. Pendengaran adalah yang paling
penting. Lalu penglihatan dan sensasi oral juga harus berfungsi dengan baik.
Sistem sentral ‘nervous’ juga harus lengkap, karena cara bicara dan bahasa
tergantung pada kemampuan dan bukan hanya pada menerima informasi dari sistem
auditori tapi juga memprosesnya, mengatur dan menyimpannya. Khususnya
kepentingan dalam pengembangan bicara misalnya artikulasi yang merupakan sistem
penggerak. Selain itu kemampuan
berbicara tak terlepas dari suatu mekanisme yang merupakan koordinasi dari
organ-organ bicara seperti pergerakan lidah, bibir, rahang, langit-langit
mulut, pangkal tenggorokan. Bagi anak yang yang memiliki kelemahan seperti celebral
palsy, berbicara merupakan suatu hal yang sangat sulit, karena sistem sensory
dan organ bicara mereka yang mengalami gangguan.
Kemampuan
kognitif juga penting untuk mengembangkan keterampilan berbahasa. Konten bahasa
seorang anak akan sangat tergantung pada apa yang bisa di tampilkannya, pengaturan,
pemahaman, serta masukan informasi yang ia dapat dari lingkungannya.
Aspek
sosial yang merupakan landasan dalam pertumbuhan afektif juga memberikan
kontribusi besar pada perkembangan keterampilan berkomunikasi. Anak yang lemah
dalam kemampuan berinteraksi secara sosial
misalnya pada anak autist, tentunya akan berdampak pula pada kemampuan
berbahasanya.
Pada
akhirnya lingkungan itu sendiri haruslah responsif pada kebutuhan anak serta
pemakaian bahasa yang digunakan pengasuh harus disesuaikan dengan kemampuan
anak dalam memproses dan mengolah informasi yang ia dapatkan. Penelitian
terkini telah menemukan bahwa beberapa strategi interaksi serta pengasuhan yang
responsif dapat mempertinggi perkembangan komunikasi anak di kemudian hari. Strategi
interaksi ini sangat penting untuk difahami oleh guru-guru Pendidikan Anak Usia
Dini di mana mereka harus mampu menyatukan dan menyiapkan semua komponen
penunjang seperti lingkungan yang kondusif serta pengembangan aspek sosial
emosional dan mendeteksi berbagai hambatan dalam sistem komunikasi anak pada
kegiatan pembelajaran sehari-hari di dalam kelas.
Karakteristik yang
Bisa Mengganggu Perkembangan Bahasa
Beberapa kondisi di bawah ini dapat menghambat
perkembangan bahasa pada anak, antara lain :
-
Kehilangan Pendengaran
Pada
dasarnya anak-anak yang kehilangan pendengaran atau lemah pendengarannya dapat
diajarkan berbicara dan memahami walau tentunya tingkat kesulitan yang dihadapi
akan lebih tinggi. Penggunaan metode
gaya bicara, bahasa isyarat atau kombinasi antara keduanya bisa
dijadikan pilihan. Yang jelas pengembangan komunikasi pada anak seperti ini
membutuhkan koordinasi dengan para ahli
untuk dapat dievaluasi dan terus dipantau.
-
SLI (Specific Languange
Impairment)
Terganggunya
sistem auditori dianggap menjadi penyebab terjadinya SLI pada anak-anak. Untuk mensiasati sistem pembelajaran bagi
anak SLI, orang tua dan guru harus menghindari presentasi rangsangan yang
terlalu cepat. Berbicara yang terlalu cepat atau lingkungan yang tidak kondusif
akan menyulitkan anak dalam memproses informasi.
-
Gangguan Penglihatan
Gangguan
penglihatan mulai dari yang ringan sampai pada level terberat yaitu buta total,
tentunya membutuhkan penanganan yang khusus, karena anak tidak bisa melihat
objek disekitarnya. Frailberg (1977) menawarkan List warning Sign sebagai informasi
yang spesifik dan berguna untuk menolong anak-anak dengan masalah
penglihatannya.
-
Gangguan Kognitif
Anak
dengan retardasi mental yang cukup parah, memerlukan rancangan pembelajaran
yang dibuat secara menyeluruh dan teliti di mana di dalamnya mencantumkan
bantuan khusus dalam keterampilan pragmatik seperti kosa kata, tata bahasa dan
artikulasi. Membantu mereka untuk mengerti saat bicara sebagaimana saat
mengungkapkan apa yang harus dikatakan harus menjadi bagian penting dalam
kurikulum.
-
Gangguan Emosional
Penyimpangan
dalam perkembangan bahasa atau penolakan untuk berkomunikasi bisa berawal dari
gangguan emosi. Di sini diperlukan keahlian dan penanganan yang tepat dari
kolaborasi terapis-terapis terkait, termasuk guru dan orang tua untuk mendorong
tumbuhnya mental yang sehat.
-
Autism
Kebanyakan
penderita autist akan mengalami information-process
defisit yang tentunya akan mengganggu perkembangan keterampilan
berkomunikasi dan menyebabkan permasalahan prilaku. Hal ini secara lanjut
berdampak pada kemampuan bereaksi secara sosial.
-
Sulit Bergaul
Ketidakmampuan
atau kesulitan dalam bergaul tentu saja akan membatasi komunikasi seseorang.
Karena ia akan jarang memperoleh pengalaman-pengalaman yang dapat membantunya
dalam memahami dan memperkaya kosa-kata serta kemampuan verbalnya.
Karakteristik Yang
dapat Menghambat Perkembangan Bicara
Beberapa
gangguan di bawah ini dapat mempengaruhi perkembangan bicara pada anak, yaitu :
-
Struktur
organ bicara yang abnormal
-
Masalah
Motorik
-
Gangguan
suara
-
Gagap
Meningkatkan Keterampilan
Konseptual, Bicara dan Bahasa
Usaha
untuk meningkatkan keterampilan bicara, bahasa serta keahlian konseptual,
diperlukan beberapa komponen pendukung di lingkungan pembelajaran, yaitu :
A. Aturan
Penting dalam Interaksi Pengasuh dan Anak
Antara
lain haruslah memperhatikan hal-hal berikut ini :
-
Interaksi
yang Komunikatif
-
Merangsang
Percakapan interaktif
-
Tanggapan
berdasarkan perilaku anak
-
Memodifikasi
interaksi dalam merespon isyarat
-
Menggunakan
komunikasi dalam mengajarkan bahasa dan konsep
B. Strategi
Kelas yang Memfasilitasi Komunikasi
Beberapa prinsip yang berkaitan dengan perkembangan
keterampilan berkomunikasi :
1.
Interaksi
merupakan kunci utama dalam pengembangan skill berkomunikasi (Reike dan
Lewis,1984).
2. Komunikasi
yang sebenarnya harus di terapkan pada anak, dimana mereka harus memiliki
kesempatan untuk memulai sebuah interaksi percakapan, menggunakan bahasa dan
perilaku komunikatif lainnya, memberikan pertanyaan dan mendapatkan informasi
atau menjawab pertanyaan.
3.
Bahasa
akan berkembang dengan sangat baik pada lingkungan yang responsif
Mengacu pada ketiga prinsip di atas,
strategi-strategi yang dapat di lakukan di dalam kelas untuk memfasilitasi
komunikasi adalah :
-
Dimulai
dengan memahami di mana posisi anak
-
Berbicara
dengan anak tentang hal-hal yang dekat dengannya
-
Memilih
topik pembicaraan yang menarik minat anak
-
Mendengarkan
-
Mengembangkan
keterampilan Pragmatik
-
Memperluas
Keterampilan
Memfasilitasi
Komunikasi dengan Anak Multi-disabilities
Antara lain dengan menggunakan strategi verbal yaitu
:
-
Merespon
isyarat perilaku anak
-
Menggunakan
pengulangan (repetitif) serta skedul yang telah dirancang
Adapun teknik untuk mengajarkan perilaku komunikatif
adalah dengan menggunakan strategi ‘output’ atau hasil, yaitu :
- Mengidentifikasi
objek yang paling sering dipilih dan aktivitas yang menimbulkan fungsi
komunikatif
-
Mengidentifikasi
perilaku yang bisa digunakan secara komunikatif, misalnya saat mempresentasikan
sebuah objek yang menarik keingintahuan anak, interupsi ; menghentikan suatu
kegiatan yang sedang ditekuni anak untuk mengamati responnya atau aktivitas
dadakan yang dirancang untuk memancing
spontanitas anak dalam berbicara ; misalnya menaruh cangkir di atas sepatu dan
seterusnya.
Mengajarkan
Perilaku Komunikatif : Mengkreasikan kesempatan dan kebutuhan untuk berkomunikasi
Beberapa teknik dideskripsikan
secara ringkas oleh Klein, Chen & Haney, 2000 ; Rogers-Warren, 1984 dalam
upaya mengajarkan perilaku komunikatif :
1.
Terdapat
beberapa fakta bahwa membagi-bagi latihan adalah lebih efektif dari pada
latihan intensif yang disebut dengan percobaan berkumpul. Misalnya anak tidak
perlu harus membuat permintaan untuk setiap gigitan makanan favoritnya. Cukup
empat sampai lima kali kesempatan dalam sehari untuk melatihnya membuat
permintaan.
2.
Teknik
penting lainnya adalah menyediakan pilihan. Dalam banyak situasi sepanjang hari
yang dilalui anak, berikanlah kesempatan untuk membuat pilihan. Pilihan
kegiatan, jenis makanan atau mainan di mana orang akan dengan mudah
menyatu ke dalam program kelas.
3.
Jeda
dan tunggu sampai anak memulai komunikasi untuk meminta benda atau aktivitas
yang diinginkannya adalah tehnik yang paling ampuh untuk mendorong anak
berkomunikasi. Tehnik ini mengacu pada prosedur ‘time delay’ (Alpert &
Kaiser, 1992)
4.
Untuk
beberapa kasus anak yang mengalami multi-disabilities cukup parah khususnya
anak-anak yang tak mampu berjalan
membutuhkan perhatian yang lebih besar. Biasanya mereka akan sangat
kesulitan untuk memberikan isyarat atau suara dalam mengkomunikasikan kebutuhan
mereka. Untuk kasus ini dibutuhkan alat bantu berupa bel atau lonceng listrik.
Menggunakan Teknik
‘Mengajar Milieu (Lingkungan Pergaulan)’ dalam Membentuk Perilaku Komunikatif
Yaitu teknik yang menggunakan
lingkungan natural untuk mengajarkan keterampilan berkomunikasi secara
spesifik. Menurut Mc-Cormick, 2003 terdapat tiga elemen dasar dalam teknik
‘Mengajar Milieu’, yaitu :
1.
Menata
lingkungan dalam suatu cara yang menimbulkan keinginan bagi anak untuk
berperilaku komunikatif.
2.
Mengidentifikasi
target spesifik dari berperilaku
3.
Mengaplikasikan
prosedur mengajar spesifik
Beberapa penulis mendeskripsikan urutan dari
langkah-langkah pelatihan berkomunikasi yang digunakan pada lingkungan natural.
Wulz, Hall dan Klein (1983) memaparkan sebuah urutan dari isyarat dan kata-kata
pengingat yang boleh digunakan dalam situasi dan strategi apapun.
Langkah-langkah ini mirip dengan cara yang dideskripsikan Roger-warren dan
Warren (1984). Teknik serupa juga mengacu pada ‘tehnik mand-model’ (Halle,
1982), ‘Incidental Teaching’ (warren & Kaiser 1986) dan prosedur ‘Time
Delay’ (Peck,1985). Penggambaran yang baik dari prosedur-prosedur ini bisa
ditemukan dalam Beukelman dan Mirenda (1998), yaitu :
1.
Mengkreasikan
kebutuhan atau kesempatan untuk berkomunikasi. Menggunakan berbagai strategi
yang telah dideskripsikan diawal dan menggunakan variabel-variabel lingkungan
untuk mendorong usaha anak berkomunikasi
2.
Jeda
dan tunggu, berikan kesempatan pada anak untuk memulai komunikasi. Terdapat dua
strategi yang bisa dipakai, yaitu dengan menatap penuh harap pada anak tanpa
mengatakan apapun selama 10-20 menit. Selama menunggu guru bisa berpura-pura
melakukan sesuatu yang lain. Prosedur ini bisa digunakan untuk mendorong sebuah
perilaku ‘meminta perhatian’ seperti vokalisasi atau pengaktifan augmentatif
(peningkatan jumlah) dan alternatif komunikasi (AAC). Pada Awalnya prosedur ini
membutuhkan dua orang guru di mana satu guru untuk mengimplementasi penundaan,
sementara yang lainnya mengobservasi
ketidakberhasilan usaha anak dan membuat lagi isyarat serta kata-kata pengingat.
3.
Mengadakan
suatu isyarat natural. Pada awalnya, mengajar perilaku komunikatif, isyarat dan
kata-kata pengingat bisa diadakan untuk merespon secara tepat maupun tidak tepat selama periode
istirahat. Ini sangatlah penting karena bagaimanapun isyarat dan kata-kata
pengingat tak bisa diberikan setiap saat, sebab bisa saja anak belajar untuk
menunggu lanjutan kata-kata pengingat untuk mendapatkan konsekuensi keinginan
berkomunikasi. Kadangkala kesempatan untuk berkomunikasi harus diakhiri. Ini
tepat untuk situasi saat memilih mainan atau makanan. Jika menghadapi situasi
di mana anak tak kunjung merespon maka isyarat natural dapat digunakan,
misalnya dengan menanyakan ‘kamu mau apa?’ atau ‘beritahu saya, apa yang mau
kamu lakukan sekarang..’
4.
Penggunaan
kata-kata pengingat dan bantuan
Strategi
yang digunakan adalah ‘modelling’ atau menjadi model yang bisa dilihat langsung
oleh anak agar ia bisa menirukannya. Jika anak tidak merespon maka pengajaran
bisa meningkat pada pemberian bantuan secara fisik atau biasa disebut Physical
Prompting, misalnya dengan meraih tangan anak untuk menunjuk sebuah objek dan
seterusnya.
5.
Menuruti
permintaan komunikatif
Saat anak
menunjukkan perilaku komunikatifnya, guru dapat mengikuti kemauan anak sambil
berupaya memasukkan pesan secara verbal. Mula-mula anak akan secara aktif
memproses informasi yang masuk lewat ucapan-ucapan gurunya dan mulai mengenali
kebutuhan untuk berkomunikasi. Lalu anak akan memulai atau dibantu untuk
memulai interaksi komunikatif. Selanjutnya perilaku komunikatif anak memiliki
sebuah pengaruh yang kuat pada lingkungan karena guru menuruti permintaan dan
ini akan jadi pengalaman belajarnya. Akhirnya sebuah kesempatan dapat
diciptakan oleh guru dalam menggunakan masukan secara verbal untuk memetakan
bahasa pada pengalaman anak.
Memfasilitasi
Komunikasi Sosial Antara Anak Dengan atau Tanpa Kebutuhan Khusus
Untuk bisa menciptakan komunikasi
sosial ini, menurut Odom & Strain (1986) setidaknya ada dua komponen yang
harus difahami anak, yaitu :
1.
Anak
harus bisa menanggapi permulaan pertemanan dengan cara yang tepat
2.
Anak
harus bisa memulai interaksi yang mendapatkan respon positif.
Prosedur yang biasa dipakai adalah modelling
(memberi contoh langsung), prompting (menggunakan kata-kata isyarat) serta
penguatan. Mula-mula guru berbicara pada sebuah kelompok kecil yang terdiri
atas anak berkebutuhan khusus atau yang tidak, tentang perilaku bermain yang
tepat, mendemonstrasikan hal baik dan buruk serta mengenalkan suasana bermain
yang penuh dengan kerjasama.
Sistem Augmentatif
dan Alternatif Komunikasi
Strategi
komunikasi nonbicara ini menggunakan isyarat, menunjuk gambar, penggunaan papan
komunikasi elektronik dan sistem komputerisasi. Sistem ini dapat meningkatkan
keterampilan dan perilaku komunikatif sehingga memberikan alternatif untuk
berbicara bagi anak-anak yang tidak memiliki kemampuan berkomunikasi secara
verbal. Sistem ini juga dikenal sebagai AAC.
Langkah-langkah dalam
Pengembangan sistem AAC (Baumgart, Johnson & Helmstetter, 1990 ; Beukelman
& Mirenda, 1998 ; Reichle, York & Sigafoos, 1991) yaitu :
1.
Menetapkan
kebutuhan komunikatif anak dan kesempatan
2.
Menetapkan
daftar lagu, judul-judul sandiwara komunikatif untuk anak
3.
Apa
saja rintangan dalam menyukseskan komunikasi?
4.
Menentukan
respon penandaan terbaik yang akan digunakan
5.
Menetapkan
‘sistem simbol’ terbaik
6.
Mendesain
pertunjukan
7.
Mendesain
Langkah-Langkah Pelatihan
Strategi kelas yang
memfasilitasi augmentatif skill berkomunikasi
Beberapa strategi yang bisa digunakan adalah sebagai
berikut :
1.
Menggunakan
mainan yang memakai bateray
2.
Menggunakan
Komputer
3.
Menggunakan
gambar representatif dan simbol
4.
Strategi
pemulai percakapan
Menggunakan Sistem
Komunikasi Penukaran Gambar (PECS)
Sistem ini digagas oleh Frost
& Bondy (1994) dan sangat populer digunakan dalam memberikan terapi bicara
pada anak autist. PECS menggunakan tehnik perilaku untuk mengajar anak melalui
gambar yang diharapkan dapat membantu anak mendapatkan objek atau aktivitas
yang diiginkannya, atau bahkan membuat komentar terhadap gambar tersebut. Sistem
ini dimulai dengan sebuah observasi untuk menentukan benda atau aktivitas apa
yang paling diinginkan anak. Saat hal itu telah berhasil diidentifikasi, sebuah
foto atau gambaran garis hitam-putih ditempatkan pada sebuah kartu atau binder
dengan velcro.
Tidak
seperti sistem AAC, pada sistem gambar anak tidaklah menunjuk. Anak cukup
diajarkan untuk memindahkan sebuah gambar yang menempel pada velcro dari dalam
buku ke
binder, mendekati orang lain dan memberikan gambar tersebut padanya.
Orang yang menerima gambar akan menanggapi dengan bahasa yang tepat lalu
memberikan si anak gambar yang diinginkannya. Perubahan signifikan dari sistem
PECS adalah bahwa itu menimbulkan interaksi sosial untuk mensukseskan
komunikasi.
Berinteraksi dengan
Anak yang Kehilangan Pendengaran
Pada Sekolah yang mempunyai siswa
dengan masalah pendengaran haruslah melakukan kolaborasi dengan para ahli di
bidang serupa, antara lain audiologist (Jika anak menggunakan alat bantu
pendengaran), Pelatih Pathologist Bicara atau guru khusus untuk anak tuli.
Dua model pembelajaran yang
biasanya diterapkan untuk anak yang kehilangan pendengaran, yaitu :
1.
Model
Pendekatan Bicara
Model ini
menekankan pada kemampuan mengeluarkan ucapan yang bisa difahami serta
menangkap makna bicara orang lain. Dalam pendekatan ini digunakan alat bantu
pendengaran serta input visual berupa gerak bibir atau tangan.
Ling
(1984) menganjurkan sebuah pendekatan ‘unisensory’ yang hanya mengandalkan
isyarat-isyarat auditory dalam upaya untuk memaksimalkan kemampuan anak
menggunakan informasi auditory dan ketertinggalan pendengarannya.
2.
Model
Pendekatan Komunikasi Manual
Model ini
disokong dengan kuat oleh anggota Komunitas Orang Tuli. Penggagas Model
pembelajaran ini percaya bahwa komunikasi manual adalah bahasa yang paling
mudah dan alami bagi orang dengan masalah pendengaran. Namun bagi anak-anak,
model pendekatan komunikasi manual ini dirasakan berjalan sangat lambat dan
membosankan. (Hunt & Marshal, 1984)
Masih banyak lagi lembaga-lembaga yang bergerak di
bidang bahasa isyarat seperti American Sign Language (ASL), Signing Essential
English (SEE I), Signing Exact English (SEE II).
Saran dalam
Berinteraksi dengan Anak yang Kehilangan Pendengaran
1.
Dalam
pembelajaran, guru bisa bertukar informasi dengan orang tua tentang
isyarat-isyarat yang biasa di pakai di rumah untuk mengajari anaknya. Lalu guru
dapat mencoba menerapkan isyarat baru tersebut di kelasnya.
2.
Mengajarkan
isyarat untuk kata kunci seperti ‘tolong’ atau ‘semua sudah selesai’ pada anak
dalam program
3.
Pastikan
penerangan dalam ruang belajar baik sehingga anak dapat jelas melihat isyarat
yang paling halus sekalipun seperti gerak bibir
4.
Sesering
mungkin libatkan orang dewasa atau anak yang lebih tua dengan kondisi yang
sama. Ini penting bagi anak-anak untuk mengobservasi model yang juga
menggunakan alat bantu pendengaran atau menggunakan bahasa isyarat. Mereka
dapat bercerita, bernyayi atau memberikan bantuan sederhana dalam rutinitas
harian.
5.
Sediakan
buku-buku yang memiliki tanda untuk kata-kata kunci dalam cerita
6.
Saat
anak kesulitan dalam memahami, ulangi kalimatnya atau ucapkan sedikit-sedikit
dengan cara yang berbeda. Lalu tambahkan isyarat visual misalnya gerak tubuh,
ekspresi wajah atau menunjuk benda dan gambar.
Memfasilitasi
Kemampuan Anak Untuk Membaca Gerak Bibir dan Membandingkan Bicara
1.
Jangan
berbicara terlalu cepat. Bicaralah
sedikit-sedikit, tapi mesti berhati-hati agar ritme dan pola bicara tetap
normal dan tidak menyimpang.
2.
Jangan
terlalu melebih-lebihkan gerak bibir atau jeda untuk setiap kata.
3. Berdiri
atau duduklah dengan tenang karena sulit bagi anak untuk fokus pada target yang
bergerak
4. Jangan
bertanya ‘apakah kamu mengerti?’ karena anak akan selalu mengatakan ya tanpa
memperhatikan. Cukup dengan menemukan seberapa dalam pengertian yang didapat
dari pemberian pertanyaan atau arahan dan observasi respon anak.
5.
Kalau
anak masih tak mengerti, ulangi terus kalimat dan katakan dengan cara yang
berbeda.
6.
Waspada
terhadap ketertinggalan pendengaran anak. Bantu mereka untuk mempelajari
berbagai bunyi dalam lingkungan dengan menunjukkan perhatian untuk mereka.
Alat Bantu
Pendengaran
Pastikan bahwa anak konsisten
dalam memakai alat bantu pendengarannya di tengah dan ikut sertakan keluarga
untuk melakukan hal yang sama di rumah. Lalu konsultasikan dengan audiologist
untuk menetukan tipe suara yang mudah diterima anak.
Cochlear Implants
Yaitu sejenis alat elektronik
yang dimasukkan melalui operasi ke dalam telinga untuk membantu pendengaran.
Alat ini terdiri atas empat komponen yaitu mikrofon, sebuah signal processor,
penerima dan elektroda. Ditemukan oleh Miyamoto (1985).
Anak dengan Masalah
Pendengaran Sementara
Yaitu anak yang mengalami masalah
pendengaran karena sedang menderita sakit, misalnya flu yang lama sembuhnya,
penyumbatan dalam telinga dan sebagainya. Guru dan orang tua haruslah peka
terhadap perubahan yang terjadi secara tiba-tiba dengan perilaku anak.
Seringkali orang tua dan guru tidak menyadari kalau permasalahan yang timbul
karena anak sedang mengalami sakit yang menyebabkannya sulit mendengar.
Berinteraksi dengan
Anak yang Memiliki Masalah Penglihatan
Sama halnya dengan penanganan
anak dengan masalah pendengaran, pada kasus anak yang memiliki gangguan
penglihatan juga perlu ada kolaborasi dengan para ahli yang berkaitan dibidang
ini untuk memastikan bahwa adaptasi optimal telah dibuat. Adalah bijaksana
untuk memasukkan orientasi dan mobilitas sebaik para ahli dalam mengajar anak
yang lemah penglihatannya. Beberapa
saran di bawah ini baik dilakukan :
1.
Selama
vokalisasi, sentuh anak untuk memberitahunya bahwa ada yang mendengarkannya.
2. Gunakan
auditory dan isyarat untuk menolong anak mengantisipasi apa yang akan terjadi
berikutnya.
3.
Katakan
tentang apa yang sedang guru dan anak lakukan seperti yang terjadi. Gunakan
kata kunci yang sesuai tahap pemikiran mereka.
4.
Pastikan
anak menggunakan visi untuk memaksimalkan segala kemungkinan perluasan lalu
kombinasikan dengan melihat, menyentuh dan berbicara.
5.
Pastikan
bahwa anak yang memiliki kelemahan visual ‘melihat’ dan merasakan setiap bagian
dari objek dan memahami hubungan antara bagian dan keseluruhan.
6.
Hubungan
spatial (ruang) sulit untuk didemonstrasikan. Tempatkan anak diberbagai posisi
dan dorong ia untuk menyentuh dan memanipulasi. Dapat juga digunakan mainan
untuk mendemonstrasikan konsep misalnya on-off, atas-bawah, dalam-luar.
7.
Gunakan
bahasa dan kemampuan auditory untuk memfasilitasi awal pemahaman anak dari
pengarahan tentang jarak. Misalnya dengan mengatakan ‘saya ada di seberang
ruangan dan jauh’ ‘Sekarang saya sudah mendekat’.
8.
Hindarilah
komunikasi yang terlalu cepat
9.
Ajarkan
juga anak untuk melokalisasikan suara dan mengenal sumbernya, pengarahan dan
jarak.
Berinteraksi Dengan
Anak Autist
Dalam menentukan tujuan
intervensi komunikasi dan strategi bagi anak autist, para profesional harus
mempertimbangkan kemungkinan akan kebutuhan untuk mengatur masalah atau rasa
defensif (perasaan untuk membela diri) dan sensitivitas auditori. Bantuan
haruslah ditemukan dari para terapis fisik untuk mendesain strategi untuk
mengurangi dan menata rasa sensitif. Hal ini harus dilakukan dengan orang tua
untuk mengidentifikasi dan memahami keengganan anak serta sensitivitas terhadap
bunyi.
Tujuan utama intervensi
berhubungan dengan interaksi yang akan membantu anak mengembangkan keterampilan
interaksi sosial awal yang sangat
penting untuk pengembangan bahasa berikutnya. Misalnya menunggu giliran,
permulaan sosialisasi dan pengembangan dari instrumen dan fungsi regulasi
komunikasi. Ini dilakukan dengan menggunakan gerak tubuh juga vokalisasi untuk
mengekspresikan keinginan dan kebutuhan untuk mempengaruhi perilaku orang lain
(Prizant, Wetherby & Rydell, 2000).
Penggunaan model pendekatan
tradisional untuk membahasakan instruksi dikarenakan munculnya peniruan yang
menyebabkan masalah. Anak dengan masalah autist seringkali mengulang-ulang dan
meniru gaya bicara orang lain. Meskipun ia akan merespon saat guru memberi
isyarat dengan menyebutkan nama objek tertentu, namun ini sangatlah sulit untuk
difahami secara spontan.
Anak autis biasanya ditangani
secara visual misalnya penggunaan grafik informasi yang sebenarnya, akan jauh
lebih mudah daripada auditori atau informasi verbal. Salah satu pendekatan yang
cukup sukses adalah dengan sistem PECS.
Berinteraksi dengan
Anak yang Memiliki Perbedaan Bahasa
Anak dengan latar belakang bahasa
yang berbeda harus didorong untuk mengembangkan kedua bahasa yaitu bahasanya
sendiri lalu bahasa kedua yang ia gunakan.
Guru yang mengenalkan bahasa kedua harus melibatkan anak dalam interaksi
sosial untuk berbahasa namun juga harus bisa memahami dan menghormati budaya
dan bahasa pertamanya misanya dari sisi dialek, ekspresi dan sebagainya.
Konsultasi
kolaboratif dengan Spesialist Bicara dan Bahasa
Meningkatkan perkembangan keterampilan
berkomunikasi pada anak-anak, membutuhkan pendekatan sebuah kerja team.
Kontribusi besar akan dapat dibuat oleh para spesialist bicara dan bahasa yaitu
kontribusi penting di bidang penilaian, dan penggunaan kedua ukuran formal dan
informal.
Model Konsultasi kolaboratif juga
menjadi sangat penting untuk mensukseskan upaya yang melibatkan semua tipe anak
dari berbagai lingkungan pendidikan. Kolaborasi harus mengambil tempat
antara pendidik khusus dan guru kelas
agar proses pembelajaran bisa berjalan lancar.
Kesimpulan
Komunikasi, bahasa dan bicara
adalah keterampilan dengan kompleksitas yang tinggi merupakan unsur pengembang
pada sebuah fungsi yang mendasari banyak proses termasuk kognitif, motorik
halus dan interaksi sosial. Pendidik PAUD harus membina kerjasama dengan orang
tua agar pengaruh yang terjadi akan lebih besar. Untuk anak yang mengalami
multi-dissabilities masukan bahasa haruslah sesuai dengan tingkatan persepsi
dan kognitif anak.
Dengan perencanaan yang teliti,
strategi yang memfasilitasi komunikasi bisa disatukan ke dalam semua kegiatan
kelas. Lebih jauh lagi, memonitor perilaku komunikatif anak dalam berbagai
konteks bisa mendapatkan kemajuan penilaian yang sangat bermakna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar